Dunia

Hamas: Kematian Sandera Jadi Tanggung Jawab Netanyahu, Ini Pernyataan Resmi Mereka

Gaza – Kelompok Hamas, melalui Brigade al-Qassam, baru-baru ini menegaskan bahwa kematian enam sandera yang ditemukan oleh militer Israel di terowongan Kota Rafah adalah tanggung jawab Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Pernyataan ini muncul setelah Israel mengklaim bahwa para sandera tersebut telah ditembak mati oleh penculiknya saat pasukan mereka berusaha untuk melakukan penyelamatan. Juru Bicara Brigade al-Qassam, Abu Ubaida, menuntut agar tanggung jawab atas kematian ini dimuntahkan kepada pemerintah Israel, bukan kepada mereka.

Hamas mengungkapkan bahwa sejak Juni 2024, mereka telah mengubah cara penanganan sandera untuk meningkatkan keamanan mereka. Strategi ini diadopsi setelah operasi penyelamatan yang dilakukan oleh Israel yang berujung pada pembebasan empat sandera namun menyebabkan banyak korban di pihak Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak. Abu Ubaida menyebut tindakan pemerintah Israel yang lebih memilih jalan militer ketimbang perundingan sebagai penyebab kemungkinan kematian lebih lanjut dari para sandera.

"Kegigihan Netanyahu untuk membebaskan tahanan melalui tekanan militer, bukan melalui kesepakatan, berarti mereka akan dikembalikan ke keluarga mereka dalam keadaan tertutup. Keluarga mereka harus memilih apakah mereka menginginkan mereka hidup atau mati," ungkap Abu Ubaida dalam sebuah pernyataan. Pernyataan ini menunjukkan ketegangan yang semakin meningkat antara kedua pihak dan membuka kembali diskusi mengenai strategi yang lebih manusiawi dalam mengatasi konflik ini.

Serangan militer yang dilakukan oleh Israel turut memicu eskalasi konflik yang berkepanjangan. Netanyahu dalam konferensi persnya mengatakan bahwa para sandera tersebut ditembak di bagian belakang kepala, menambah emosi dan intensitas konflik ini. Dia dikabarkan telah berjanji bahwa Hamas akan membayar harga yang mahal atas tindakan ini, menegaskan posisi keras pemerintah Israel dalam memahami situasi ini sebagai bentuk teror yang harus dilawan.

Di sisi lain, pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri, menilai tuduhan Netanyahu terhadap kelompoknya adalah sebuah upaya untuk mengalihkan tanggung jawab atas kematian para sandera. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa "Netanyahu membunuh enam tahanan dan dia bertekad untuk membunuh yang tersisa. Israel harus memilih antara Netanyahu atau kesepakatan." Hal ini menunjukkan bahwa Hamas dalam posisi defensif, mencoba memalingkan tanggung jawab ke pihak Israel.

Ezzat El Rashq, anggota biro politik Hamas, menyatakan lebih lanjut bahwa segala upaya untuk memulangkan sandera harus direspons dengan serius oleh Netanyahu. "Para sandera perlawanan dapat segera kembali ke keluarga mereka, tetapi menunda kepulangan mereka dan bertanggung jawab atas hidup mereka adalah Netanyahu," tegasnya, memperlihatkan bahwa penghapusan sandera adalah tanggung jawab yang seharusnya diambil oleh pemerintah Israel.

Selama periode konflik yang berkepanjangan ini, Israel dan Hamas terus gagal mencapai kesepakatan yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Tidak ada prospek jelas untuk mengakhiri perang dan membebaskan para sandera, baik itu rakyat Israel maupun warga asing yang ditahan oleh Hamas di Gaza. Permintaan Hamas untuk mengakhiri perang dan menarik pasukan Israel dari Gaza bersifat kontras dengan posisi Netanyahu yang menginginkan pengalahannya atas kelompok bersenjata ini sebagai syarat untuk menyudahi permusuhan.

Kondisi di lapangan semakin rumit dengan campur tangan berbagai pihak, masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Upaya internasional untuk menengahi situasi ini terhambat oleh ketidakpercayaan yang mendalam antara Hamas dan Israel. Beberapa suara, termasuk dari presiden AS Joe Biden, telah menegur Netanyahu atas tanggung jawabnya dalam situasi ini, menunjukkan peningkatan perhatian global terhadap konflik yang berlangsung.

Perbincangan mengenai kehidupan para sandera di Gaza semakin kompleks saat dilihat dari sisi kemanusiaan. Setiap keputusan yang diambil dalam konteks konflik ini harus mempertimbangkan keselamatan para sandera, yang hingga saat ini masih menjadi alat tawar-menawar di meja politik. Ketidakpastian terus menghinggapi keluarga yang menunggu kabar dari anggota keluarga mereka yang disandera, mengingatkan kita akan rasa sakit dan harapan yang sering kali saling bertentangan dalam situasi yang berlarut-larut.

Dalam konteks ini, Hamas berupaya untuk memperjelas posisi mereka dan menyampaikan pesannya kepada dunia luar bahwa mereka bukanlah pihak yang sepenuhnya bertanggung jawab atas kematian para sandera. Mereka ingin memperlihatkan bahwa jika ada pilihan antara dialog dan kekuatan, Netanyahu memilih kekuatan, dan itulah yang menyebabkan hilangnya lebih banyak nyawa.

Di tengah kekacauan ini, pertanyaan penting yang muncul adalah: bisakah perundingan dan diplomasi meraih kemenangan di atas segala bentuk agresi militer? Apakah kedua belah pihak mampu untuk menemukan titik temu demi menyelamatkan nyawa manusia tanpa membiarkannya terperangkap dalam anarki dan saling balas dendam? Senjata diplomasi tampaknya masih menjadi harapan terakhir di tengah keriuhan konflik yang tiada akhir ini.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.

Artikel Terkait

Back to top button