Debat calon wakil presiden (cawapres) yang digelar pada Jumat (22/12/2023) menampilkan sejumlah isu penting, salah satunya adalah teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) yang disinggung oleh mantan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Dalam kesempatan tersebut, Gibran menekankan perlunya transisi menuju energi hijau serta pentingnya pajak karbon dan penyimpanan karbon dalam usaha menekan emisi gas rumah kaca. Dalam pidatonya, ia menggarisbawahi, "Jika kita menyinggung masalah soal karbon, maka kita juga harus menyinggung soal pajak karbon, carbon storage, juga carbon capture. Agenda ke depan tentu kita harus mendorong transisi menuju energi hijau."
Teknologi Carbon Capture and Storage memiliki tujuan untuk menanggulangi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 yang dilepaskan ke atmosfer. Proses ini melibatkan tiga langkah utama: pemisahan dan penangkapan CO2 dari sumber emisi gas buang, penangkutan CO2 yang tertangkap ke tempat penyimpanan, dan penyimpanan pada lokasi yang aman. Menurut informasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), teknologi ini dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi jejak karbon yang dihasilkan oleh aktivitas industri dan pembakaran bahan bakar fosil.
Di tengah diskusi tentang kebijakan lingkungan yang diusung Gibran dan pentingnya mitigasi perubahan iklim, isu lain muncul dari tindakan adiknya, Kaesang Pangarep. Belakangan ini, Kaesang dan istrinya, Erina Gudono, menarik perhatian publik ketika diketahui menggunakan jet pribadi dalam perjalanan mereka ke Amerika Serikat. Penggunaan jet pribadi ini pun mendapatkan kritik tajam dari netizen dan pengamat lingkungan, terutama karena kontras dengan pernyataan Gibran mengenai pentingnya teknologi carbon capture.
Sebuah fakta yang harus diperhatikan adalah bahwa penggunaan jet pribadi tidak ramah lingkungan. Menurut laporan dari Airport Technology, jet pribadi dapat menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih besar—antara 5 hingga 14 kali lebih banyak per penumpang jika dibandingkan dengan penerbangan pesawat komersial. Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara sikap yang diambil Gibran dalam debat dan tindakan Kaesang yang dianggap kurang mendukung upaya menjaga lingkungan.
Berdasarkan data tambahan dari Federasi Eropa untuk Transportasi dan Lingkungan, penggunaan jet pribadi dapat memancarkan dua ton CO2 per jam. Angka ini sangat mengkhawatirkan, terutama jika dibandingkan dengan kapasitas transportasi umum yang jauh lebih efisien dalam hal emisi. Ketidakselarasan antara pernyataan publik Gibran dengan perilaku non-ramah lingkungan dari Kaesang menjadi bahan pembicaraan, terutama ketika banyak orang mengharapkan contoh yang baik dari sosok yang berada di posisi publik.
Dalam konteks ini, munculnya kritik terhadap Kaesang bukan tanpa alasan. Dengan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim dan dampaknya, masyarakat mulai memperhatikan tindakan para tokoh publik yang dapat berpengaruh pada sikap masyarakat umum. Sebagai generasi muda yang memiliki pengaruh signifikan, tindakan Kaesang yang menggunakan jet pribadi bisa dilihat sebagai suatu paradoks di tengah upaya yang digalakkan Gibran.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan iklim adalah masalah yang kompleks dan multidemensional. Di satu sisi, ada teknologi seperti CCS yang menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi emisi karbon. Di sisi lain, perilaku individu atau kelompok tertentu yang tidak konsisten dengan upaya tersebut dapat mengurangi efektivitas tindakan kolektif dalam menangani masalah lingkungan.
Ketika masyarakat semakin memperhatikan terhadap dampak perubahan iklim, penting bagi para pemimpin publik untuk bersikap lebih bertanggung jawab dalam memilih cara mereka berpergian dan beroperasi. Tindakan yang terlihat tidak konsisten seperti yang dilakukan Kaesang justru bisa merugikan citra dan integritas pesan yang dibawa oleh Gibran dalam debat.
Kedepannya, harapan masyarakat adalah agar para pemimpin tersebut saling mendukung dalam upaya penanganan isu-isu kritis, termasuk perubahan iklim. Konsistensi antara kata dan tindakan harus menjadi perhatian bersama. Jika para tokoh publik mampu menunjukkan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai keberlanjutan, maka diharapkan hal itu dapat menginspirasi masyarakat untuk juga melakukan hal yang sama.
Dalam kesimpulannya, ketegangan antara tindak lanjut pribadi Kaesang dan visi Gibran tentang keberlanjutan menunjukkan perlunya kesadaran yang lebih dalam mengenai peran individu dalam isu lingkungan. Tindakan sehari-hari, khususnya dalam hal transportasi, memainkan peran penting dalam memahami dampak yang lebih luas terhadap perubahan iklim. Mengedukasi diri tentang pilihan yang lebih baik dan bertanggung jawab, baik untuk diri sendiri maupun untuk lingkungan, menjadi langkah selanjutnya menuju masa depan yang lebih baik. Semoga dalam waktu dekat, pasangan kakak-beradik ini bisa mengharmoniskan visi dan praktik mereka demi kepentingan lingkungan yang lebih baik.