Indonesia

Gado-Gado Membingungkan: Putusan Lembaga Negara Syokkan Syarat Usia Calon Kepala Daerah

Putusan lembaga-lembaga negara, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), terkait syarat usia minimal calon kepala daerah baru-baru ini menimbulkan kebingungan di kalangan publik dan calon pemilih. Di tengah perkembangan ini, terdapat ketidakjelasan mengenai kapan sebenarnya usia minimal calon kepala daerah harus dihitung, apakah pada saat penetapan pasangan calon atau saat pelantikan. Putusan yang dikeluarkan pada Selasa, 20 Agustus 2024, menciptakan dua pandangan berbeda yang bisa berdampak signifikan pada proses pemilihan.

Dalam putusan perkara nomor 70/PUU-XXII/2024, yang diratifikasi oleh MK, ditegaskan bahwa syarat usia minimal calon kepala daerah ditentukan pada saat penetapan oleh KPU. Dengan penegasan tersebut, MK beralasan bahwa metode menghitung usia pada saat penetapan calon ini sudah diterapkan secara konsisten dalam beberapa pemilihan sebelumnya, termasuk Pilkada 2017, 2018, hingga 2020. Serta turut diterapkan bagi pendaftaran calon presiden, wakil presiden, dan calon anggota legislatif. Wakil Ketua MK Saldi Isra menyatakan bahwa “persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon”.

Sebaliknya, KPU memiliki pandangan berbeda. Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 mengatur bahwa usia minimal calon kepala daerah dihitung dari pelantikan pasangan calon terpilih. Dalam regulasi ini, diatur bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia paling rendah 30 tahun, sementara calon bupati/wali kota dan wakilnya harus berusia minimal 25 tahun pada saat pelantikan. Pandangan ini muncul setelah putusan MA, yang menyatakan bahwa syarat usia minimal bagi calon kepala daerah harus dihitung dari saat pelantikan, bukan dari penetapan.

Perbedaan pandangan ini tentunya menimbulkan tantangan serius bagi para penyelenggara Pemilu. Hal ini karena adanya kebingungan yang dapat muncul di kalangan calon kepala daerah dan pemilih. Siapa saja yang berkeinginan untuk mendaftarkan diri sebagai calon harus memahami batasan usia yang diterapkan oleh masing-masing lembaga. Ketidakpastian hukum yang muncul dapat berpotensi mengganggu proses pencalonan dan pelaksanaan pemilu itu sendiri.

Lebih lanjut, MK menolak untuk memberikan penambahan makna baru terhadap Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, yang dapat menyebabkan kebingungan ekstra mengenai syarat-syarat lainnya. MK bersikeras bahwa norma yang ada sudah jelas, tanpa ada kebutuhan untuk melakukan penambahan interpretasi yang bisa menimbulkan kebingungan lebih lanjut.

Dengan adanya dua regulasi yang berbeda tersebut, calon kepala daerah dan pemilih diharapkan dapat memahami dan mengikuti perubahan regulasi dengan baik. KPU sebagai penyelenggara Pemilu akan memerlukan langkah-langkah nyata untuk mengkomunikasikan ketentuan yang berlaku dan memastikan bahwa calon yang mendaftar benar-benar memenuhi syarat yang diharuskan. Ini mencakup aspek sosialisasi yang menyentuh kepada masyarakat luas agar informasi terkait syarat pencalonan tersampaikan dengan jelas.

Saat terjadi perbedaan penafsiran antara MK dan MA yang berdampak pada KPU, ini bisa menjadi potensi konflik yang tidak hanya berdampak pada calon yang mendaftar tetapi juga pada legitimasi proses pemilihan itu sendiri. Baik KPU maupun MK diharapkan untuk segera melakukan koordinasi agar aturan yang diterapkan menghasilkan kesaturan yang jelas bagi semua pihak yang terlibat.

Disamping itu, masyarakat sebagai pemilih perlu mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang cukup mengenai ketentuan-ketentuan ini, agar dapat mengambil keputusan yang tepat dalam memilih kepala daerah mereka. Dengan informasi yang transparan dan akurat, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu mendatang.

Di tengah semua kebingungan yang ada, satu hal yang harus menjadi perhatian bersama adalah pentingnya kepastian hukum dalam sistem demokrasi. Setiap produk hukum haruslah mampu memberikan kejelasan dan tidak menimbulkan dualisme interpretasi. Harapannya, semua pihak yang berwenang dapat bersatu untuk menciptakan regulasi yang tidak hanya adil, tetapi juga menciptakan lingkungan pemilihan umum yang lebih transparan dan akuntabel bagi seluruh masyarakat.

Perbedaan ini menyiratkan perlunya pembenahan dan penyempurnaan regulasi pemilihan, bukan hanya berfokus pada angka usia, tetapi juga pada esensi yang terkandung dalam pemilihan kepala daerah itu sendiri. Ketersediaan calon yang berkualitas dan layak memimpin daerah seharusnya menjadi prioritas utama, dan bukan sekadar memenuhi angka yang ditentukan.

Oleh karena itu, publik mengharapkan agar MK, MA, dan KPU dapat menciptakan kolaborasi yang lebih baik dan menghasilkan kesepakatan yang memadai demi terciptanya pemilihan umum yang mengedepankan transparansi, keadilan, dan legitimasi. Kejelasan mengenai kriteria dan syarat yang harus dipenuhi calon kepala daerah menjadi sangat penting untuk menjamin kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu yang ada. Masyarakat juga perlu diberdayakan dengan informasi yang akurat agar mereka dapat berpartisipasi lebih aktif dan cerdas dalam proses demokrasi.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button