Tirta Mandira Hudhi, yang lebih dikenal sebagai dr. Tirta, berani mengeluarkan kritik keras terhadap fenomena bullying yang melanda mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS), terutama menyusul kasus bunuh diri mahasiswi Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Aulia Risma Lestari. Aulia, yang tengah menjalani pendidikan spesialis anestesi di RSUP dr. Kariadi, Semarang, diduga bunuh diri akibat tekanan berat akibat tindakan perundungan dari seniornya. Kasus ini telah menciptakan keprihatinan mendalam terkait kondisi mental mahasiswa di lingkungan pendidikan kedokteran.
Dalam sebuah cuitan di akun X-nya, dr. Tirta mengungkapkan betapa tingginya jam kerja di PPDS yang membuat mahasiswa tidak memiliki keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Ia menjelaskan bahwa para mahasiswa tidak hanya dihadapkan pada tekanan akademis yang besar, melainkan juga harus mengatasi tekanan dari target kasus, jadwal jaga yang ketat, dan evaluasi pendidikan yang menyita waktu dan energi. Dr. Tirta menyoroti poin penting bahwa selama lima tahun pendidikan spesialis, mahasiswa tidak mendapatkan pemasukan, yang semakin menambah beban mental mereka.
Tanpa adanya bullying saja, buramnya suasana pada lingkungan PPDS sudah cukup menyengsarakan, apalagi dengan adanya perilaku menyimpang siswa senior yang melakukan perundungan terhadap junior. "Ini sudah sangat berat, apalagi jika ‘masih ada’ bullying," ungkap dr. Tirta, menandaskan bahwa perundungan hanya menambah komplikasi dari beban yang sudah ada.
Kritik dr. Tirta tidak hanya berhenti di situ. Ia menilai bahwa insiden bunuh diri Aulia merupakan cerminan dari masalah yang lebih besar yang mengancam Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan di Indonesia. Dr. Tirta memperingatkan bahwa kasus bunuh diri ini adalah ‘tip of the iceberg’, menunjukkan bahwa banyak masalah lain yang berakar pada budaya pendidikan kesehatan yang toksik. "Adanya kasus satu suic*de ini merupakan ‘tip of iceberg’ dari berbagai banyaknya permasalahan mengenai SDM kesehatan di Indonesia," tegasnya.
Dalam cuitannya, dr. Tirta mengajak semua pihak—alumni, senior, dan pemangku kepentingan—agar dapat menjaga kesehatan mental para mahasiswa PPDS. Ia mengingatkan bahwa penting bagi semua pihak untuk menahan diri dan berkolaborasi untuk memperbaiki sistem pendidikan SDM kesehatan di Indonesia. "Saya harap, semua-semua pihak dapat menahan diri, dan bergerak bareng agar sistem pendidikan SDM nakes dapat bertransformasi ke arah lebih baik," imbaunya.
Kejadian yang menimpa Aulia seharusnya menjadi panggilan untuk perubahan dalam sistem pendidikan kedokteran. Perlu ada upaya serius untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat dan mendukung, serta menyingkirkan praktik-praktik perundungan yang dapat menghancurkan kesehatan mental mahasiswa. Dr. Tirta menyerukan semua pihak agar sejalan dan tidak membiarkan pengalaman buruk yang dialaminya terjadi kepada junior mereka.
Kasus Aulia bukanlah yang pertama dan diharapkan juga tidak akan menjadi yang terakhir. Masyarakat dan lembaga pendidikan diharapkan bisa belajar dari tragedi ini dan mengambil tindakan preventif untuk memerangi bullying yang kerap kali terjadi dan untuk memberikan dukungan mental yang memadai kepada mahasiswa. Dukungan ini sangat diperlukan, mengingat tingkat stres dan tekanan di lingkungan pendidikan dokter spesialis yang sudah sangat tinggi.
Pendidikan kedokteran seharusnya tidak hanya mencetak tenaga medis yang terampil, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan mental semua mahasiswa. Dalam upaya menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, perlu bagi universitas dan institusi pendidikan lainnya untuk menegakkan kode etik yang jelas mengenai perilaku, serta memastikan bahwa tindakan bullying tidak akan ditoleransi.
Dengan kritik dan penegasan dr. Tirta yang kuat, kini ada harapan baru untuk perubahan positif mendasar di pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Semua pihak diharapkan bisa berperan dalam menciptakan transformasi ini demi masa depan yang lebih baik bagi calon tenaga kesehatan. Kesehatan mental mahasiswa harus diberikan prioritas yang sama pentingnya dengan pendidikan akademis dan keterampilan klinis, agar tragedi seperti yang dialami Aulia tidak terulang lagi.
Society health professionals, alumni, dan institusi pendidikan diharapkan untuk melakukan evaluasi sistematis terhadap metode pendidikan dan sistem dukungan yang sudah ada. Dengan kepedulian yang lebih besar terhadap kesehatan mental, diharapkan akan ada lingkungan yang lebih kondusif untuk belajar, yang tidak hanya menelurkan dokter-dokter yang handal, tetapi juga dokter-dokter yang sehat mental dan emosional.
Situasi ini menegaskan perlunya menengok kembali dan merombak cara kita mendidik, mengasuh, dan menjaga anak-anak bangsa di lembaga pendidikan tinggi. Hal ini setiap individu yang terlibat di dunia pendidikan kedokteran memiliki tanggung jawab untuk mencegah dan mengatasi bullying, serta mendukung rekan-rekan mereka agar bisa menjalani masa pendidikan dengan penuh semangat, bukan dengan rasa tertekan dan terisolasi.