Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengonfirmasi bahwa aplikasi Temu telah diblokir oleh pemerintah Indonesia. Dengan keputusan ini, aplikasi e-commerce yang menawarkan barang-barang dengan harga diskon besar tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi oleh masyarakat di dalam negeri. Langkah ini diambil untuk melindungi perekonomian lokal, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dari ancaman yang ditimbulkan oleh model bisnis Temu.
“Kalau aplikasi Temu, per kemarin sudah kami nyatakan terlarang di Indonesia. Karena apa? Karena aplikasi Temu itu model bisnisnya adalah dari pabrikan langsung ke konsumen. Pabrikannya dari negara lain, konsumennya orang Indonesia. Nanti UMKM kita akan tergilas,” ujar Budi Arie Setiadi saat merilis dua buku mengenai perkembangan digital di Indonesia di Jakarta. Penutupan akses ini juga menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk menjaga ekosistem ekonomi digital yang sehat di tanah air.
Meskipun tampilan aplikasi Temu masih dapat diakses, transaksi pada platform ini sudah tidak dapat dilakukan. Menkominfo mengungkapkan bahwa pihaknya sedang menunggu proses pengajuan take down Temu dari dua platform penyedia aplikasi terbesar, yaitu AppStore dan PlayStore. Penutupan akses ini untuk menegakkan Peraturan Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Berdasarkan aturan tersebut, aplikasi Temu tidak bisa beroperasi di Indonesia karena belum terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
Aplikasi Temu dan Model Bisnisnya
Temu adalah aplikasi e-commerce yang menawarkan produk dengan harga yang sangat murah, bersaing dengan platform lain seperti Shopee dan TikTok Shop. Diferensiasi utama dari Temu adalah kemampuannya untuk terhubung langsung dengan sekitar 80 pabrik di China, memungkinkan produk tersebut dijual langsung kepada konsumen di seluruh dunia. Keunggulan harga ini menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap UMKM lokal yang mungkin tidak dapat bersaing dengan harga rendah yang ditawarkan oleh aplikasi tersebut.
Sejak September 2022, Temu berupaya mendaftarkan mereknya di Indonesia, dengan total tiga kali pengajuan. Namun, pendaftaran ini terbentur masalah karena ada perusahaan lokal dengan nama serupa dan KBLI yang mayoritas sama. Pada 22 Juli 2024, Temu kembali mengajukan perpanjangan pendaftaran di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), tetapi usaha tersebut kembali gagal.
Ekspansi Temu di Pasar Global
Temu berhasil berekspansi dengan cepat ke berbagai negara dan kini beroperasi di 48 negara, termasuk Thailand dan Malaysia. Menurut laporan Southeast Asia E-commerce Outlook 2024 dari TMO Group, aplikasi ini diluncurkan secara global pada Desember 2023 dan berhasil menjaring sekitar 120 juta pengguna. Rata-rata, Temu mengirimkan sekitar 1,6 juta paket setiap hari, menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dalam penggunanya.
Di Amerika Serikat, investasi besar oleh Temu terbukti efektif, di mana sekitar 9% penduduk AS berbelanja di platform ini dalam satu tahun terakhir. Keberhasilan Temu juga tercermin dari peringkatnya, yang consistently menempati posisi teratas dalam hal unduhan di Apple App Store dan Google Play.
Sebelum masuk ke Indonesia, Temu pertama kali merambah Asia Tenggara dengan masuk ke Filipina pada 26 Agustus 2023, diikuti oleh Malaysia pada 8 September 2023. Ketika Temu memasuki pasar, para pelaku UMKM setempat mulai merasakan dampak negatif dari persaingan ini, di mana barang-barang buatan lokal terasa tertekan oleh harga yang sangat kompetitif dari Temu.
Respons Masyarakat dan Pelaku UMKM
Keputusan pemerintah untuk memblokir aplikasi Temu mendapatkan tanggapan beragam dari masyarakat. Beberapa konsumen merasa sangat dirugikan karena mereka menikmati berbagai penawaran dan harga murah yang disediakan oleh aplikasi. Banyak yang merasa kecewa karena begitu banyak pilihan barang yang kini tidak bisa diakses.
Hal ini tentu berbeda dengan pendapat pelaku UMKM, yang menyambut baik keputusan tersebut. Budi Arie Setiadi mengungkapkan bahwa ini merupakan langkah penting untuk menjaga keberlangsungan usaha lokal di tengah perkembangan e-commerce yang pesat. “Pelarangan ini merupakan salah satu langkah untuk melindungi kita dari penetrasi pasar yang tidak sehat,” lanjutnya.
Dampak Jangka Panjang
Pemerintah Indonesia menekankan bahwa langkah ini bukan hanya soal memblokir akses ke satu aplikasi, tetapi lebih kepada strategi jangka panjang dalam menjaga kesehatan ekonomi digital di Indonesia. Dengan banyaknya platform e-commerce asing yang beroperasi, tekanan terhadap UMKM lokal semakin besar. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan usaha kecil di dalam negeri.
Di samping itu, pemerintah terus mendorong UMKM untuk beradaptasi dengan teknologi digital agar dapat bersaing lebih baik, meskipun mereka tetap menginginkan adanya regulasi yang adil dan melindungi kepentingan lokal. Langkah ini diharapkan akan mendorong kreativitas dan inovasi di sektor UMKM, sehingga mereka dapat bertahan dan tumbuh dalam era digital yang semakin kompetitif.
Dengan langkah tegas pemerintah ini, diharapkan akan ada pergeseran dalam struktur pasar e-commerce yang lebih ramah terhadap UKM di Indonesia. Pelaku usaha kecil diharapkan bisa lebih memanfaatkan teknologi dan platform lokal untuk meningkatkan daya saing dan keberlanjutan usaha mereka di masa depan.