Pertempuran antara Israel dan Hizbullah semakin meningkat sejak bulan September lalu, ketika Israel meluncurkan invasi darat ke Lebanon. Dalam situasi yang membahayakan ini, banyak pihak mempertanyakan peran Pasukan Bersenjata Lebanon (LAF), yang sebagian besar terlihat hanya sebagai penonton di tengah konflik berdarah ini. Kehidupan masyarakat Lebanon, yang sudah terpuruk akibat banyaknya kerugian, semakin terasa getir. Ribuan orang kehilangan nyawa, sementara banyak yang terpaksa mengungsi akibat pertempuran yang berlangsung. Namun, perhatian kini tertuju pada LAF dan langkah-langkah yang mereka ambil dalam menghadapi serangan dari Israel dan Hizbullah.
Tentara Lebanon dalam Angka
LAF terdiri dari sekitar 80.000 personel, namun hanya 5.000 dari mereka yang ditempatkan di wilayah selatan, tempat di mana pertempuran paling intens terjadi. Sementara itu, Hizbullah memiliki lebih dari 100.000 pejuang yang dipandang sebagai representasi kekuatan yang didanai oleh Iran. Ketidakmampuan LAF untuk bersaing dalam jumlah maupun kualitas senjata menjadi perhatian utama. Pasca-perang sipil yang mengguncang Lebanon dari tahun 1975 hingga 1990, LAF mengalami penurunan kemampuan yang signifikan. Keterbatasan sumber daya dan modernisasi senjata tidak dapat dipenuhi, sehingga mempersulit LAF untuk berperan aktif dalam konflik saat ini.
Kualitas dan Modernisasi Militer yang Minim
Satu pernyataan dari Aram Nerguizian, pengamat senior di Center for Strategic and International Studies, menyoroti bahwa ketika pertempuran pertama antara Israel dan Hizbullah terjadi pada tahun 2006, LAF sudah berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Tanpa investasi yang memadai dalam modernisasi pasca-perang, mereka tidak memiliki kapasitas untuk melawan kekuatan udara Israel. Keterbatasan persenjataan LAF yang terbilang usang semakin menambah kompleksitas situasi. Banyak pengamat sepakat bahwa tanpa dukungan dari luar, kemajuan LAF untuk meningkatkan kapasitas pertahanan terlihat sangat minim.
Dukungan Internasional yang Terbatas
Amerika Serikat telah menjadi donor utama bagi LAF, dengan bantuan militer mencapai $3 miliar sejak 2006. Namun, kekhawatiran bahwa dukungan ini bisa jatuh ke tangan Hizbullah menciptakan ketidakpastian dalam hubungan antara kedua negara. Legislator di AS tampaknya waspada terhadap potensi risiko, yang berujung pada dukungan yang sangat terbatasi. Muncul pula sejumlah opini di Lebanon yang menganggap bahwa AS sengaja memperlambat proses pemberian senjata modern kepada LAF, sementara Israel, sebagai sekutu AS, mendapatkan dukungan militer yang jauh lebih besar, mencapai $17,9 miliar.
Krisis ekonomi yang melanda Lebanon sejak 2019 memperburuk kondisi LAF. Dengan gaji rata-rata tentara yang hanya sekitar $220 per bulan, sulit bagi mereka untuk menjalankan tugas secara efektif. Keterbatasan dana membuat LAF tidak dapat melengkapi diri dengan perangkat dan senjata modern yang diperlukan, sehingga menambah tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Konflik dan Respons Tentara Lebanon
Sejauh ini, LAF hanya terlibat dalam beberapa insiden violent dengan Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Pada tanggal 3 Oktober, sebuah serangan militer dari tank Israel menewaskan seorang tentara Lebanon, diikuti oleh serangan udara yang menewaskan dua lainnya pada 11 Oktober. Dalam kedua insiden tersebut, LAF memberikan respons dengan menembak balik. Namun, ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang lebih proaktif menunjukkan keterbatasan yang jelas dalam menghadapi agresi Israel.
Mantan jenderal LAF, Hassan Jouni, memberikan pandangan bahwa meskipun ada keinginan untuk melindungi Lebanon dari invasi, kemampuan yang dimiliki saat ini sangatlah terbatas. Ia menambahkan, "Tentu saja, jika Israel invasi, Lebanon akan mempertahankan diri, namun dengan kemampuan yang apa adanya… tanpa melakukan hal yang ceroboh dan bunuh diri." Ini mencerminkan dilema yang dihadapi LAF yang terjebak antara melindungi kedaulatan negara dan keterbatasan yang harus mereka hadapi.
Dampak Terhadap Masyarakat Lebanon
Pengerahan LAF dalam situasi seperti ini semakin membuka mata mengenai dampak konflik yang jauh lebih luas di Lebanon. Banyak warga sipil menanggung beban dari pertempuran yang terus berkepanjangan, dengan infrastruktur yang hancur dan banyak nyawa melayang. Masyarakat Lebanon kini terpaksa berhadapan dengan tantangan yang tidak hanya bersifat militer, tetapi juga sosial dan ekonomi. Ribuan pengungsi bertebaran di berbagai wilayah, menambah komponen krisis yang kian mendalam.
Bagi banyak orang Lebanon, posisi LAF yang tidak agresif dalam konfrontasi dengan Israel mengundang banyak pertanyaan. Apakah ini tanda dari sikap defensif yang harus diambil oleh LAF, ataukah ada unsur lain yang memengaruhi keputusan mereka untuk tidak mengambil tindakan lebih lanjut? Sebagian dari penduduk berpendapat bahwa LAF seharusnya mampu lebih responsif dalam menghadapi ancaman, terutama ketika banyak jiwa yang terancam akibat serangan.
Sejauh ini, upaya untuk memperkuat LAF dari dalam dan luar negeri belum menunjukkan hasil yang signifikan untuk mengantisipasi ketegangan yang semakin meningkat. Ketidakstabilan situasi di Lebanon memunculkan harapan bagi banyak pihak agar ada perubahan dan dukungan yang lebih kuat untuk angkatan bersenjata Lebanon, demi menjaga kedaulatan dan keamanan negara mereka di tengah ketidakpastian yang kian memburuk.