Aktivis Permadi Arya, yang lebih dikenal dengan julukan Abu Janda, saat ini tengah menjadi sorotan publik terkait kemungkinan diangkatnya sebagai wakil menteri (wamen) dalam kabinet yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Label yang melekat padanya sebagai sosok yang dianggap memiliki sikap mendukung Zionis menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, terutama di kalangan pengamat politik dan aktivis kemanusiaan.
Sikap Abu Janda yang dinilai apatis terhadap nasib rakyat Palestina menjadi salah satu faktor utama mengapa banyak orang mempertanyakan kelayakannya untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Banyak pihak menganggap bahwa pernyataan-pernyataannya yang kontroversial menunjukkan kurangnya empati terhadap isu-isu kemanusiaan, termasuk konflik yang berlangsung di Timur Tengah. Aktivis ini telah beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang dianggap meremehkan perjuangan rakyat Palestina yang tengah terkungkung oleh agresi militer Israel.
Belum lama ini, Abu Janda juga mendapatkan perhatian lebih setelah menyindir Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Retno dikenal sebagai sosok yang secara konsisten mendukung Palestina dan mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Israel. Sindiran Abu Janda ini semakin menegaskan pandangan publik bahwa ia tidak sejalan dengan semangat mendukung kemanusiaan yang diusung oleh banyak kalangan di Indonesia.
Pendidikan Abu Janda juga menjadi sorotan. Meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik, yaitu sebagai lulusan dari program Diploma Ilmu Komputer di salah satu institusi di Singapura dan Sarjana Business & Finance dari University of Wolverhampton, Inggris, banyak yang meragukan pemahamannya terhadap isu sosial dan kemanusiaan. Bekal pendidikan yang mumpuni tidak selalu sejalan dengan pemahaman yang sensitif terhadap isu-isu yang membutuhkan kepekaan sosial.
Sebelum terjun ke dunia aktivisme dan dikenal sebagai buzzer, Abu Janda bekerja di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta. Namun, ia memilih untuk mengundurkan diri setelah mengalami perseteruan dengan atasannya. Sejak saat itu, langkahnya bergeser ke ranah media sosial, di mana ia mulai menggairahkan diri sebagai seorang buzzer. Cuitan-cuitannya yang provokatif pun berhasil menarik perhatian Tim Sukses Joko Widodo saat Pilpres 2019. Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial kini menjadi salah satu ladang subur bagi para aktivis untuk memengaruhi opini publik.
Isu pengangkatan Abu Janda sebagai wakil menteri pertama kali mencuat setelah dia mengunggah foto bersama Prabowo Subianto. Dalam unggahannya, ia mengklaim bahwa dirinya diundang ke kediaman Prabowo untuk membahas isu-isu yang dianggap penting, termasuk masalah intoleransi di Indonesia. Menurut Abu Janda, Prabowo menugaskannya untuk fokus pada pengurusan isu intoleransi yang kerap muncul di masyarakat. Pernyataan tersebut mengundang polemik, mengingat posisinya yang dianggap tidak representatif untuk menangani masalah tersebut.
Beberapa pengamat politik dan aktivis sosial mengungkapkan kekecewaan mereka jika Abu Janda benar-benar terpilih sebagai wamen. Banyak yang menyatakan bahwa sosok yang memegang jabatan strategis seharusnya memiliki rekam jejak dan pemahaman yang baik mengenai isu-isu global, terutama yang berkaitan dengan kemanusiaan dan keadilan sosial. Dalam konteks ini, keputusan untuk mengangkat individu yang telah dilabeli Zionis dan dianggap kurang empatik terhadap isu-isu kemanusiaan dapat mendegradasi citra kabinet pemerintahan yang akan datang.
Beberapa penilaian negatif juga ditujukan kepada Prabowo dan Gibran terkait potensi pengangkatan Abu Janda ini. Dalam pandangan publik, langkah tersebut bisa saja menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani permasalahan terkait kebijakan luar negeri yang lebih humane dan adil, khususnya dalam konteks dukungan terhadap Palestina. Pemberian pos strategis kepada sosok yang dianggap tidak peka terhadap isu-isu tersebut dinilai bisa menciptakan kesan buruk bagi image kabinet di mata masyarakat.
Walaupun demikian, masih ada komunitas pendukung Abu Janda yang memberi dukungan dan menilai bahwa pengangkatannya dapat menjadi sarana untuk membuka dialog mengenai isu-isu toleransi dan keberagaman. Mereka percaya bahwa dengan latar belakang yang dimiliki, Abu Janda dapat membawa perspektif baru dalam menyikapi permasalahan intoleransi yang terus berkembang di Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, penting bagi publik untuk terus memantau dinamika seputar isu ini. Apakah Abu Janda akan benar-benar mendapatkan posisi di kabinet, ataukah itu hanya sekadar rumor belaka? Bagaimanapun, pembentukan kabinet akan menjadi salah satu indikator bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap isu-isu sosial yang melibatkan kemanusiaan, keadilan, dan toleransi. Dalam waktu dekat, kita mungkin akan mendapatkan kepastian terkait isu yang kini mendominasi perbincangan publik ini, dan bagaimana langkah yang akan diambil oleh Prabowo dan Gibran dalam menentukan komposisi kabinet mereka.