Konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina masih menjadi isu yang hangat di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang memiliki populasi Muslim yang besar. Banyak negara di Timur Tengah dan beberapa negara lainnya mengambil sikap tegas terhadap Israel dengan menolak akses masuk bagi pemegang paspor Israel. Kebijakan ini berpijak pada dukungan solidaritas terhadap Palestina serta penolakan terhadap pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Hingga saat ini, terdapat 15 negara yang secara resmi menolak paspor Israel, dan kebijakan ini mengubah cara warga negara Israel melakukan perjalanan internasional.
Aljazair, misalnya, sejak merdeka pada tahun 1962, telah menolak untuk mengakui kedaulatan Israel. Negara ini melarang pemegang paspor Israel untuk masuk ke wilayahnya. Selain Aljazair, Brunei Darussalam juga dikenal sebagai negara Asia pertama yang menolak keberadaan warga Israel. Keputusan Brunei untuk melarang warga Israel masuk ke wilayahnya merupakan bentuk solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina, dan sebagai penolakan terhadap apa yang dianggap pendudukan oleh Israel.
Malaysia merupakan negara lainnya yang memiliki sejarah panjang dalam mendukung perjuangan Palestina. Sejak tahun 2009, pemerintah Malaysia resmi melarang pemegang paspor Israel masuk ke negara tersebut, meskipun dikatakan bahwa larangan ini dapat diberikan pengecualian untuk tujuan tertentu, seperti keagamaan atau bisnis. Namun, dalam praktiknya, banyak warga Israel yang masih mengalami penolakan saat berusaha mengunjungi Malaysia.
Selain negara-negara tersebut, terdapat sekumpulan negara lainnya yang juga menerapkan kebijakan serupa, di antaranya Afganistan, Bangladesh, Iran, Irak (kecuali Kurdistan), Kuwait, Lebanon, Libya, Oman, Pakistan, Suriah, Yaman, dan Maladewa. Dalam konteks Maladewa, kebijakan baru yang melarang warga Israel masuk diambil sebagai respons terhadap peningkatan kemarahan publik akibat konflik yang berkaitan dengan Gaza. Juru bicara pemerintah Maladewa menyatakan bahwa keputusan tersebut telah diumumkan oleh Presiden Mohamed Muizzu, meskipun rincian lebih lanjut mengenai kebijakan itu belum dipublikasikan.
Pembatasan perjalanan ini tentunya berdampak signifikan bagi warga negara Israel, yang tidak dapat menikmati akses ke negara-negara tersebut untuk keperluan pariwisata, bisnis, atau kepentingan pribadi lainnya. Akibatnya, mereka juga menghadapi tantangan ketika ingin bepergian ke negara ketiga yang memiliki aturan yang serupa.
Pembatasan dari lebih dari 15 negara ini telah menyebabkan reaksi yang beragam dari komunitas internasional. Beberapa mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk diskriminasi yang melanggar hak asasi manusia. Namun, ada juga negara yang mendukung kebijakan ini, memahami bahwa tindakan tersebut merupakan ekspresi solidaritas terhadap perjuangan Palestina dan penolakan terhadap pendudukan Israel.
Di tengah kebijakan internasional yang mengarah pada penolakan paspor Israel, Indonesia mengambil sikap yang mungkin berbeda. Meskipun Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim yang kerap menunjukkan dukungan untuk Palestina, ia tidak menerapkan larangan yang sama terhadap pemegang paspor Israel. Indonesia tetap membuka pintu bagi warga negara Israel untuk masuk ke wilayahnya, meski pengakuan diplomatik terhadap Israel sendiri tidak ada. Dalam hal ini, posisi Indonesia berlandaskan pada prinsip non-blok dan kemerdekaan politik, serta pandangan bahwa konflik Israel-Palestina sebaiknya diselesaikan melalui jalur diplomasi.
Sebagai negara yang menganut prinsip non-blok, Indonesia percaya bahwa setiap negara berhak untuk menentukan kebijakan luar negeri berdasarkan kepentingan nasional dan pandangan politik. Sikap ini mencerminkan upaya Indonesia untuk tetap bersikap adil dalam memperlakukan berbagai negara, tanpa mengabaikan komitmennya terhadap hak asasi manusia dan keadilan bagi rakyat Palestina.
Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa meskipun beberapa negara mengadopsi langkah-langkah konkret untuk menolak pemegang paspor Israel, Indonesia menunjukkan pendekatan yang lebih terbuka, dengan mempertahankan hak-hak warga negara untuk berkunjung ke negara tersebut. Kebijakan ini dapat dipandang sebagai langkah diplomatik yang menekankan perlunya dialog dan penyelesaian atas konflik yang sudah berlangsung lama, alih-alih mengedepankan kebijakan diskriminatif yang justru bisa memperburuk situasi.
Dengan demikian, pembatasan perjalanan untuk pemegang paspor Israel menjadi fenomena yang kredibel dan berpengaruh dalam dinamika politik global. Dalam iklim yang bergejolak ini, alternatif pendekatan seperti yang diambil oleh Indonesia menawarkan perspektif yang berbeda dan menunjukkan bahwa jalan menuju perdamaian mungkin lebih efektif ditapaki melalui saluran diplomatik daripada langkah-langkah yang merugikan secara langsung.