Dunia

Daftar Kejahatan Perang Netanyahu Versi Mahkamah Pidana Internasional: Apakah Bisa Ditahan?

Pada bulan Mei 2023, Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Karim A.A Khan KC mengajukan permohonan untuk menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah individu yang diduga terlibat dalam kejahatan perang, khususnya menargetkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant. Permohonan ini mencuat di tengah meningkatnya ketegangan dan konflik yang terjadi di wilayah Palestina sejak 8 Oktober 2023.

Jaksa Karim menyatakan alasan dasar untuk penahanan kedua pejabat tinggi tersebut berdasarkan beberapa dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh mereka. Dalam laporan yang diperoleh dari kantor Kejaksaan ICC, setidaknya terdapat tujuh poin yang memuat kejahatan yang dipersepsikan dilakukan oleh Netanyahu dan Gallant.

Di antara poin-poin tersebut, kejahatan terburuk yang dituduhkan adalah penggunaan kelaparan sebagai metode peperangan. Hal ini diungkapkan dengan mengacu pada pasal 8(2)(b)(xxv) Statuta Roma, yang mengatur tentang kejahatan perang. Konsekuensinya, ada klaim bahwa sekitar 1,1 juta warga Gaza mengalami kelaparan malapetaka, situasi ini dilihat sebagai salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius.

Tuduhan lainnya juga mencakup pembunuhan yang disengaja dan menyebabkan penderitaan yang parah, yang merupakan pelanggaran terhadap pasal 8(2)(a)(i) dan 8(2)(a)(iii) dari Statuta Roma. Selain itu, ketujuh poin dakwaan tersebut juga menyebutkan mengenai serangan yang ditujukan langsung kepada penduduk sipil, salah satu tindakan yang diatur dalam definisi kejahatan perang pasal 8(2)(b)(i) dan 8(2)(e)(i).

Di samping itu, penganiayaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya juga diidentifikasikan sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah pasal 7 dari Statuta Roma. Hal ini mencerminkan bahwa situasi di lapangan, terutama di Gaza, telah mencapai titik di mana sejumlah tindakan oleh pemimpin Israel mungkin berkontribusi pada pelanggaran hukum internasional.

Menghadapi Potensi Penangkapan

Meskipun ICC memiliki otoritas untuk mendakwa individu atas dasar kejahatan perang, kondisi hukum internasional sangat terbatas ketika menyangkut penahanan individu yang berasal dari negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma. Israel adalah salah satu negara yang Tidak menandatangani dan meratifikasi Statuta Roma, sehingga tidak terikat untuk memenuhi kewajiban hukum internasional yang ditetapkan oleh ICC.

Simak juga bahwa heningnya isu penahanan ini secara hipotesis bisa terjadi jika Netanyahu atau Gallant melakukan perjalanan ke negara yang telah meratifikasi Statuta Roma. Di negara tersebut, terdapat kewajiban untuk menangkap pejabat-pejabat tersebut sesuai dengan hukum internasional. Sebagai contoh, negara-negara seperti Prancis, Jerman, atau negara-negara Eropa lainnya yang menjadi pihak dalam Statuta Roma memiliki tanggung jawab hukum ini.

Namun, tantangan nyata yang dihadapi adalah persetujuan dari negara penerima untuk melaksanakan perintah penangkapan. Sebagai contoh, situasi serupa terjadi saat Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke Mongolia, meski ada tekanan dari ICC, negara tersebut tetap memiliki hak untuk menolak atau menerima perintah tersebut. Keputusan final terkait penangkapan pemimpin negara bertumpu pada kehendak politik negara tersebut dan dinamika internasional yang ada.

Respons Internasional terhadap Konflik

Situasi ini semakin rumit dengan adanya berbagai reaksi dari organisasi internasional dan kelompok hak asasi manusia. Amnesty International mengeluarkan seruan agar ICC menyelidiki serangan-serangan Israel yang dianggap sebagai kejahatan perang. Banyak pihak di seluruh dunia mendesak agar tindakan tegas diambil untuk menanggapi situasi kemanusiaan yang semakin memburuk di Gaza.

Pengacara dan pakar hukum internasional juga berbicara mengenai kompleksitas dalam menegakkan hukum internasional terhadap individu yang memegang kekuasaan politik di negara tidak penandatangan. Mereka menyatakan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk mereformasi sistem yang ada agar keadilan dapat ditegakkan di seluruh belahan dunia.

Kembali pada Kejahatan Perang yang Dituduhkan

Sebagai respons terhadap berbagai tuduhan ini, penting untuk dicatat bahwa Netanyahu dan Gallant berhak untuk membela diri dan menyampaikan pandangan mereka mengenai situasi yang terjadi. Sistem hukum internasional mendorong prosedur adil dan terbuka, yang harus diikuti dalam setiap penyelidikan yang dilakukan oleh ICC atau lembaga lainnya.

Reaksi dari Israel telah menyiratkan bahwa mereka tidak akan menerima begitu saja setiap laporan atau pernyataan yang disampaikan oleh ICC. Dikesampingkan apakah tindakan ini tepat atau tidak, lingkungan politik yang ada kini mengarah pada ketegangan yang lebih dalam antara Israel dan lembaga internasional.

Penting untuk memahami bagaimana perkembangan selanjutnya akan terjadi dalam konteks hukum internasional dan keadilan global. Setiap langkah yang diambil oleh ICC akan diawasi dengan ketat, dan hasilnya bisa berpengaruh pada dinamika hubungan internasional serta prinsip-prinsip kedaulatan negara.

Dengan adanya semua faktor ini, situasi di Palestina dan Israel tetap sebagai salah satu isu paling kompleks dan sensitif dalam konteks internasional. Penegakan hukum internasional dan keadilan bagi korban yang terkena dampak konflik ini menjadi hal yang sangat diharapkan oleh banyak pihak di dunia.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.

Artikel Terkait

Back to top button