Pendiri dan CEO Telegram, Pavel Durov, kini berada di bawah penyelidikan resmi oleh pihak berwajib Prancis setelah tuduhan serius terkait kejahatan terorganisir muncul. Pada 28 Agustus 2024, Durov resmi dibebaskan dari tahanan setelah ditangkap pada 24 Agustus 2024. Ia dihadapkan pada tuduhan yang mencakup distribusi materi kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, perdagangan narkoba, pencucian uang, serta pelanggaran atas layanan kriptografi yang dapat digunakan oleh pelanggar hukum.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan oleh Jaksa Paris, Laure Beccuau, ada cukup alasan untuk menyelidiki Durov atas semua tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Investigasi ini dilatarbelakangi oleh “hampir ketiadaan respons” dari Telegram terhadap permintaan pihak berwajib untuk bekerja sama, yang menggugah unit kejahatan siber Paris untuk membuka penyelidikan pada Februari 2024. Bukan hanya Prancis, pihak berwajib di Belgia dan negara-negara Eropa lainnya juga menunjukkan perhatian yang sama terhadap tindakan CEO Telegram ini.
Di tengah proses hukum ini, Durov harus membayar uang jaminan sebesar 5 juta Euro, atau sekitar Rp 85,8 miliar, untuk bisa bebas dari tahanan. Meskipun ia tidak diizinkan meninggalkan Prancis dan diwajibkan melapor ke kepolisian dua kali seminggu, Durov melalui kuasa hukumnya, David-Oliver Kaminski, menegaskan bahwa klaim terhadapnya adalah “tidak masuk akal.” Kaminski melanjutkan dengan pernyataan bahwa Telegram selalu mematuhi hukum-hukum yang berlaku di Eropa terkait teknologi digital.
Dalam sebuah pernyataan resmi dari Telegram yang diunggah di platform X, mereka menjelaskan bahwa perusahaan mereka “menaati hukum UE, termasuk hukum pelayanan digital,” dan menekankan bahwa moderasi konten yang dilakukan perusahaan sesuai dengan standar industri yang berlaku. Penegasan ini menunjukkan upaya Telegram untuk menjaga reputasinya di tengah krisis ini.
Di sisi lain, harus dicatat bahwa pemintaan untuk membentuk penyelidikan resmi tidak berarti bahwa Durov telah dinyatakan bersalah. Menurut laporan Al-Jazeera, status penyelidikan tersebut menunjukkan bahwa hakim menganggap ada cukup landasan untuk melanjutkan investigasi, dan proses ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun. Hal ini mencerminkan dinamika hukum yang kompleks dan sangat melibatkan aspek keadilan serta hak asasi manusia.
Tuduhan yang dihadapi Durov tidak bisa dipandang sepele. Distribusi konten kekerasan seksual dan narkoba secara online telah menjadi perhatian serius bagi banyak negara, terutama dengan meningkatnya penggunaan aplikasi pesan yang terenkripsi. Pihak berwenang di Eropa dan negara-negara lain semakin waspada terhadap potensi penyalahgunaan platform digital untuk aktivitas ilegal. Hal ini menjadi tantangan bagi perusahaan teknologi, seperti Telegram, untuk menciptakan kebijakan moderasi yang efektif tanpa mengorbankan privasi pengguna.
Durov, yang juga memiliki kewarganegaraan di beberapa negara seperti Uni Emirat Arab, Rusia, dan St Kitts dan Nevis, saat ini terikat dengan hukum di Prancis. Meskipun ia telah dibebaskan, pencampuran antara bisnis, privasi, dan kepatuhan terhadap hukum menjadi sorotan utama dalam kasus ini.
Lebih lanjut, kasus ini bisa jadi akan memperdebatkan kembali tentang perlunya regulasi yang lebih ketat bagi platform-platform media sosial terutama soal pelanggaran privasi dan keamanan. Pengguna aplikasi pesan seperti Telegram sering kali mengandalkan fitur enkripsi sebagai jaminan keamanan, namun situasi ini memunculkan pertanyaan mengenai tanggung jawab aplikasi dalam memantau dan mencegah kejahatan yang terjadi di platform mereka.
Kasus Pavel Durov juga menyoroti pentingnya kolaborasi global antara negara-negara dalam menangani kejahatan siber dan pelanggaran hukum yang dapat merugikan masyarakat luas. Dengan kompleksitas teknologi yang semakin berkembang, ketiga aspek—privasi, keadilan, dan regulasi—perlu diimbangi agar bisa memberikan ketenangan bagi pengguna dan masyarakat pada umumnya.
Durov kini menghadapi ancaman hukuman penjara hingga 10 tahun jika terbukti bersalah. Namun, hasil penyelidikan ini akan menjadi faktor penentu apakah ini hanya akan berakhir sebagai sebuah kontroversi hukum yang berkepanjangan atau akan menghasilkan perubahan signifikan dalam cara aplikasi digital seperti Telegram menjalankan operasional mereka dalam konteks kepatuhan hukum.