Teknologi

Bos EXCL dan ISAT Minta Menkominfo Kaji Ulang Struktur Ongkos Regulasi Telekomunikasi

Presiden Direktur dan CEO PT XL Axiata Tbk., Dian Siswarini, bersama dengan Director & Chief Business Officer PT Indosat Tbk., Danny Buldansyah, menginginkan agar Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafidh mempertimbangkan untuk mengkaji ulang struktur biaya regulator yang saat ini diterapkan kepada operator seluler. Permintaan ini muncul dalam konteks tingginya biaya regulator yang dibebankan kepada operator telekomunikasi, terutama terkait dengan tarif sewa spektrum frekuensi yang dirasa memberatkan di tengah situasi industri yang melambat.

Saat ini, rasio ongkos regulator terhadap pendapatan operator seluler di Indonesia berada di kisaran 13-14%. Angka ini jauh di atas rerata ongkos regulator di Asia Tenggara yang hanya sekitar 7%. Dian Siswarini mengungkapkan, biaya regulator yang tinggi sangat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi jaringan, terutama ke daerah-daerah rural yang kurang terlayani. Ia menegaskan bahwa tingginya biaya ini menghambat pembangunan infrastruktur yang diperlukan untuk teknologi komunikasi, seperti jaringan 5G.

Penggelaran jaringan 5G memerlukan investasi yang signifikan, dan dengan regulasi yang membebani, harapan untuk mewujudkan jaringan generasi kelima ini bisa terancam. Menurut Dian, "Kalau seperti itu, membuat kami sulit mengembangkan infrastruktur selanjutnya." Dengan demikian, operator seluler berharap agar pemerintah melakukan penelaahan kembali terhadap struktur biaya yang dianggap tidak relevan dengan kondisi pasar dan tuntutan zaman saat ini.

Senada dengan pemikiran Dian, Danny Buldansyah juga berpendapat bahwa pengkajian ulang ongkos regulator sangat penting untuk menyehatkan industri telekomunikasi. Ia menyampaikan bahwa seharusnya ongkos regulator berada di kisaran 10 persen, dan idealnya, di angka 6-7%. Harapan ini menjadi salah satu poin penting di tengah diskusi seputar keberlangsungan dan perkembangan sektor telekomunikasi di Indonesia.

Dalam forum yang sama, Ketua Umum APJATEL, Jerry Siregar, menambahkan bahwa sektor telekomunikasi masih dihadapkan pada sejumlah tantangan, termasuk perizinan dan sewa jaringan utilitas terpadu. Jerry menjelaskan bahwa beberapa isu terkait biaya sewa masih terkait dengan perbedaan pola pikir di tingkat pimpinan daerah. Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) juga menjadi perhatian, di mana terdapat dinamika baru dalam pengelolaan barang milik daerah yang berdampak pada tarif sewa jaringan fiber optic.

Melalui Permendagri Nomor 7 Tahun 2024, pemerintah daerah yang tidak mengembangkan jaringan utilitas terpadu tidak akan dapat menarik biaya sewa jaringan fiber optic. Jerry menekankan pentingnya kerjasama antara pemerintah daerah dengan operator dalam menciptakan infrastruktur yang lebih baik untuk masyarakat.

Diskusi mengenai biaya regulator dan sewa jaringan utilitas menjadi semakin relevan di tengah tekanan industri telekomunikasi yang harus beradaptasi dengan perubahan kebutuhan masyarakat dan perkembangan teknologi. Para pelaku industri berharap pengkajian atas regulasi yang ada dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan dan investasi di sektor ini, agar dapat menjangkau lebih banyak pengguna, terutama di area yang selama ini belum terlayani dengan baik.

Dampak signifikan dari struktur biaya yang ada sangat dirasakan oleh para operator. Mereka berpendapat bahwa biaya yang tinggi akan berujung pada penurunan investasi, yang pada gilirannya akan menghambat pengembangan jaringan dan fasilitas yang lebih baik untuk konsumen. Sementara itu, masyarakat semakin mengandalkan koneksi internet yang cepat dan stabil, sehingga kendala dalam penyediaan layanan ini dapat menciptakan kesenjangan digital di berbagai daerah.

Dalam konteks global, tantangan yang dihadapi sektor telekomunikasi Indonesia bukanlah hal baru. Banyak negara di Asia menghadapi dilema serupa, di mana biaya regulasi yang tinggi dapat menjadi penghalang bagi inovasi dan perluasan layanan. Dengan berjalannya waktu, penting bagi pemerintah dan regulator untuk merespons secara adaptif terhadap dinamika ini, memastikan bahwa struktur biaya yang diterapkan tidak hanya adil, tetapi juga mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dalam industri.

Persoalan mengenai biaya dan tarif tidak hanya bersifat teknis semata, tetapi juga melibatkan aspek-aspek sosial dan ekonomi yang lebih luas. Keterandalan infrastruktur telekomunikasi sangat bergantung pada keputusan-keputusan yang diambil oleh regulator dan pemerintah, serta tanggapan para pelaku industri terhadap kebijakan tersebut. Karena itu, diskusi yang terus berlangsung mengenai biaya regulator dan tarif sewa diaharapkan dapat menjadi cikal bakal kebijakan yang lebih baik untuk masa depan sektor telekomunikasi di Indonesia.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button