Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur tentang kemasan rokok polos tanpa merek kini menjadi perhatian utama di kalangan pelaku industri dan masyarakat. Menurut studi dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef), implementasi kedua regulasi ini dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan hingga mencapai Rp308 triliun, atau setara dengan 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad, menjelaskan bahwa dampak negatif dari kebijakan ini tidak akan terbatas pada industri rokok. Ia menekankan bahwa sektor-sektor lain seperti industri kemasan, tembakau, cengkeh, serta ritel dan periklanan juga akan merasakan imbasnya. "Pemerintah perlu melihat dampak ekonominya secara komprehensif, karena hal ini akan mempengaruhi banyak pihak," ujarnya dalam diskusi yang berlangsung pada 26 September 2024.
Dari perhitungan yang dilakukan Indef, terdapat tiga skenario kebijakan yang akan diterapkan dalam industri rokok. Selain kemasan polos tanpa merek, juga terdapat larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari tempat-tempat umum dan pembatasan iklan. Jika ketiga skenario ini dijalankan sekaligus, dampak ekonomi yang hilang bisa mencapai Rp308 triliun, sementara penerimaan pajak diperkirakan akan menurun hingga Rp160,6 triliun, yaitu setara dengan 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional. Dalam konteks ketenagakerjaan, sekitar 2,3 juta pekerja di sektor industri tembakau dan produk turunannya dapat terkena dampak.
Kementerian Perindustrian juga mengungkapkan keprihatinan mengenai aturan ini. Nugraha Prasetya Yogie, Pembina Industri Ahli Madya di Kemenperin, menyatakan bahwa pihaknya belum pernah dilibatkan dalam konsultasi publik yang diinisiasi oleh Kemenkes. "Secara umum, industri tembakau belum siap menyesuaikan dengan peraturan baru tersebut," tegasnya. Ia menegaskan bahwa peraturan baru ini cenderung memperketat pengaturan terkait zat adiktif dalam tembakau, sehingga berimbas pada penjualan, produksi, dan efisiensi tenaga kerja.
Henry Najoan, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), menyoroti bahwa banyak anggota merasa terancam dengan adanya regulasi ini. Menurutnya, terdapat banyak kejanggalan dalam Rancangan Permenkes, dan pelaku industri tidak diberikan kesempatan untuk berdiskusi mengenai isi aturan tersebut. "Kemenkes tidak membuka diskusi yang terbuka dengan kami," keluhnya. Permintaan yang sama juga disampaikan oleh Benny Wachjudi, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), yang menyayangkan sikap Kemenkes dalam tidak menerima masukan dari industri.
Dalam konteks UU Kesehatan, Benny menilai bahwa amanat untuk menyusun standarisasi kemasan rokok polos tanpa merek juga tidak pernah disebutkan. Ia menekankan bahwa pengesahan peraturan ini saat "injury time" justru akan memicu kegaduhan dan kepanikan di kalangan pelaku industri.
Ketidakpuasan terhadap kebijakan ini mencerminkan bagaimana regulasi-regulasi yang diusulkan dapat mempengaruhi keseimbangan ekonomi dan stabilitas pasar. Dengan berbagai pro dan kontra yang muncul, banyak pihak meneriakkan perlunya evaluasi dan pembenahan untuk melibatkan semua pemangku kepentingan demi menjaga kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan ini, yang dirancang dengan tujuan kesehatan masyarakat, harus mempertimbangkan dampak ekonomi yang lebih luas. Dalam usaha untuk mengurangi prevalensi merokok di kalangan masyarakat, perlu adanya dialog yang konstruktif antara pemerintah dan industri. Pelibatan pemangku kepentingan yang lebih luas akan menghasilkan solusi yang tidak hanya memperhatikan kesehatan, tetapi juga mengedepankan ekonomi yang berkelanjutan.
Sistem pengaturan yang lebih sehat dan inklusif diperlukan agar kedua tujuan tersebut dapat tercapai. Tidak pada tempatnya bagi pemerintah untuk mengabaikan suara para pelaku industri, terutama ketika peraturan baru berpotensi menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi banyak sektor ekonomi. Regulasi yang baik adalah regulasi yang melalui proses diskusi yang transparan dan partisipatif, guna menciptakan keseimbangan antara kesehatan publik dan kepentingan ekonomi yang lebih luas.