Teknologi

Analisis: Mengapa Margin Profitabilitas E-commerce Terus Menurun di Tengah Persaingan Ketat

Pertumbuhan e-commerce yang stabil dan meningkat di berbagai negara menarik perhatian banyak pelaku bisnis, tetapi di balik kesuksesan tersebut terdapat tantangan signifikan yang mengganggu margin profitabilitas. Margin laba operasional e-commerce yang rendah menjadi isu utama, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Akuisisi Tokopedia oleh TikTok baru-baru ini menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh platform besar meskipun beroperasi selama 14 tahun dan mendominasi pasar. Hal ini mengundang pertanyaan mendasar: Mengapa margin profitabilitas e-commerce begitu rendah?

Salah satu contoh yang paling mencolok datang dari Amazon, yang dikenal sebagai pelopor e-commerce. Pada tahun 2023, Amazon mencatat pendapatan total US$575 miliar dengan laba operasional Rp36,9 miliar, sehingga menghasilkan margin laba operasional 6,4% secara keseluruhan. Namun, saat menganalisis segmen ritel, gambaran berbeda muncul. Margin laba operasional ritel Amazon chỉ 2,5% dan bahkan lebih buruk di beberapa segmen, dengan 4,2% di ritel AS dan negatif 3,6% di ritel global. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar laba operasional Amazon berasal dari bisnis cloud mereka, AWS, yang menyumbang 86% dari total laba operasional.

Selain Amazon, Coupang dari Korea Selatan yang menirukan model bisnis e-commerce Amazon menghadapi masalah serupa. Dengan lebih dari 100 fulfillment center yang dibangun untuk mendekatkan layanan kepada konsumen, margin laba operasional Coupang hanya 1,84% per September 2023. Di sisi lain, JD.com yang berbasis di China mencatat margin laba operasional 2,72%, sedikit lebih tinggi daripada Coupang dan Amazon, tetapi masih di bawah rata-rata ritel konvensional seperti Alfamart yang mencapai 2,97%.

Menurut studi yang dilakukan oleh Alvarez & Marsal di Eropa, margin laba e-commerce pada tahun 2020 hanya mencapai 1,4%, turun dari 3,2% di tahun 2011. Tren penurunan ini juga mencerminkan dampak persaingan dari e-commerce, di mana ritel konvensional rata-rata memiliki margin laba 4,5%. Dengan meningkatnya intensitas kompetisi di pasar, keuntungan dari e-commerce terus tergerus.

Salah satu faktor yang berkontribusi pada rendahnya margin laba adalah intensitas persaingan harga. E-commerce memungkinkan konsumen melakukan perbandingan harga dengan mudah dan cepat, sehingga daya saing harga menjadi lebih ketat. Konsumen cenderung memilih penjual dengan harga terendah, mendorong penjual untuk menurunkan harga dan pada akhirnya mengurangi margin laba.

Di samping itu, promosi bebas ongkos kirim juga memberikan dampak signifikan. E-commerce biasanya menawarkan pengiriman gratis untuk menarik pembeli, yang pada gilirannya membebankan biaya logistik kepada penjual. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, kondisi infrastruktur yang buruk menambah tantangan dalam melakukan pengiriman, dengan potensi barang rusak dan salah kirim yang membuat biaya logistik semakin mahal.

Tidak hanya itu, satuan nilai transaksi yang kecil juga menjadi penyebab rendahnya margin. Konsumen yang berbelanja secara daring seringkali membeli satu barang saja, berbeda dengan perilaku belanja di ritel konvensional di mana konsumen bisa membawa serta beberapa produk dalam satu kunjungan. Situasi ini menyebabkan nilai transaksi rata-rata menjadi lebih rendah, mengurangi potensi keuntungan.

Biaya akuisisi pelanggan yang tinggi menjadi masalah lain dalam bisnis e-commerce. Dengan kompetisi yang ketat dan fokus pada akuisisi pelanggan baru, biaya untuk menarik pelanggan menjadi sangat mahal. Dalam banyak kasus, pelanggan yang diperoleh tersebut tidak cukup loyal, menjadikan customer lifetime value rendah. Hal ini semakin mempersulit perusahaan e-commerce untuk menutupi biaya promosi yang dikeluarkan.

Lebih lanjut, meskipun e-commerce mengalami ekspansi yang cepat, investasi dalam logistik dan sistem pengiriman sering diabaikan. Sukses e-commerce seperti Amazon, Coupang, dan JD.com disebabkan oleh investasi masif dalam sistem logistik dan fulfillment center yang efisien. Tanpa investasi yang substansial dalam aspek-aspek ini, e-commerce sulit untuk mencapai margin keuntungan yang menguntungkan.

Kombinasi dari peningkatan kompetisi, promosi bebas ongkos kirim, satuan nilai transaksi kecil, dan tingginya biaya logistik dari gudang ke konsumen menjadi faktor utama di balik rendahnya profitabilitas e-commerce. Sebagai tambahan, tantangan yang dihadapi oleh pemain besar seperti Tokopedia dengan akuisisi TikTok menunjukkan bahwa mereka juga harus beradaptasi dengan landscape persaingan yang sangat agresif.

Saat ini, jaringan ritel konvensional seperti Alfamart dan Indomaret pun sudah mulai mengembangkan layanan digital mereka, sementara Shopee terus berupaya melakukan ekspansi di Indonesia. Dalam situasi ini, kolaborasi seperti yang dilakukan Tokopedia dengan TikTok menjadi langkah strategi untuk bisa bersaing dengan kuat di dunia e-commerce.

Berbagai tantangan ini menunjukkan bahwa dalam dalam era digitalisasi yang terus berkembang, pelaku e-commerce harus lebih kreatif dalam mencari sumber pendapatan yang lebih beragam. Mengingat dinamika pasar yang terus berubah, upaya untuk memenangkan perlombaan profitabilitas di dunia e-commerce bukanlah hal yang mudah, namun sangat mungkin jika dilakukan dengan strategi yang tepat dan investasi yang memadai.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button