Aliansi masyarakat sipil di Indonesia menuntut agar pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) 2024 yang diusulkan dihentikan. Penolakan ini muncul karena dinilai dapat merugikan ekosistem industri hasil tembakau (IHT), termasuk produk tembakau, rokok elektronik, dan tata niaga pertembakauan di tanah air. Dalam sebuah petisi, perwakilan masyarakat sipil yang terdiri dari 50 peserta dari berbagai latar belakang berargumen bahwa kebijakan ini mengancam keberlangsungan usaha dan mata pencaharian jutaan orang di sektor yang terkait.
Direktur P3M, Sarmidi Husna, menyoroti bahwa RPMK 2024 mengusulkan penerapan kemasan polos tanpa merek, yang dipandang akan membatasi ruang gerak bagi industri tembakau. Menurut Sarmidi, proses penyerapan dan pembahasan pasal-pasal dalam RPMK 2024 sangat minim pelibatan publik dan stakeholder yang kredibel, mengakibatkan kurangnya partisipasi di dalamnya. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi serius, terutama terhadap petani tembakau, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta industri rokok yang selama ini sudah beroperasi di Indonesia.
Lebih lanjut, perwakilan dari Kementerian Perindustrian, Nugraha Prasetya Yogi, mengungkapkan bahwa standarisasi kemasan produk tembakau dan rokok elektronik juga berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Kebijakan tersebut akan berimplikasi pada penurunan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau, yang merupakan sumber pendapatan penting bagi negara. Dampak dari kebijakan tersebut diperkirakan akan menyebabkan penurunan penjualan dan produksi, serta efisiensi tenaga kerja yang berpotensi mengakibatkan pemutusan hubungan kerja bagi ribuan orang.
Data menunjukkan bahwa industri hasil tembakau saat ini mempekerjakan sekitar 537.452 orang, sedangkan petani tembakau dan cengkeh melibatkan sekitar 1,5 juta kepala keluarga. Hal ini menjadikan IHT salah satu sektor penting dalam perekonomian nasional, terutama bagi masyarakat yang bergantung pada mata pencaharian ini.
Dalam tanggapannya, perwakilan Federasi Serikat Pekerja SPSI-RTMM, Sudarto, menekankan bahwa RPMK 2024 berdampak luas kepada jutaan tenaga kerja dari hulu hingga hilir. Dia mengungkapkan keprihatinannya bahwa sektor pertanian tembakau dan tata niaga rokok sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, dan menganggap bahwa kebijakan ini tampak berat sebelah terhadap industri tersebut.
Sudarto juga mengkritik kebijakan cukai yang dinilai terus meningkat, sehingga harga rokok menjadi mahal dan mendorong munculnya rokok ilegal sebagai alternatif bagi masyarakat. “Kami mewakili para pekerja yang memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan hak untuk mendapatkan pekerjaan,” ungkapnya, menandakan pentingnya perlindungan bagi tenaga kerja di sektor IHT.
Di sisi lain, anggota DPR RI, Muhammad Misbakhun, menilai ada kepentingan kuat dari perusahaan besar dalam rezim kesehatan internasional yang berpotensi menggantikan usaha rakyat dan menghapus lapangan pekerjaan. Menurutnya, hal ini mengancam masa depan petani tembakau dan cengkeh serta keberlangsungan industri hasil tembakau nasional. “Pemerintah sebagai regulator perlu menempatkan diri sebagai fasilitator yang memberikan strategi solusi bagi ekosistem pertembakauan,” tambahnya, menunjukkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang dari kebijakan yang kurang berpihak kepada industri lokal.
Kekhawatiran mengenai dampak RPMK 2024 juga terletak pada kurangnya dialog antara pemerintah dan stakeholder yang terkait. Pemerintah diharapkan untuk lebih inklusif dalam proses pembuatan kebijakan, sehingga suara dari sektor yang terdampak dapat terdengar dan dipertimbangkan. Hal ini menjadi penting mengingat keberlangsungan hidup jutaan orang yang bergantung pada sektor IHT.
Sementara itu, situasi pasar yang berpotensi dipengaruhi oleh RPMK 2024, meningkatkan urgensi untuk mencari jalan tengah yang dapat memenuhi tujuan kesehatan tanpa mengabaikan kebutuhan ekonomis masyarakat. Keseimbangan antara regulasi kesehatan dan perlindungan terhadap industri hasil tembakau harus dipikirkan secara matang agar dapat menciptakan kondisi yang saling menguntungkan.
Pengawasan yang lebih ketat terhadap peredaran rokok ilegal dan kebijakan yang mendukung UMKM dalam sektor IHT juga perlu menjadi perhatian. Dengan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan industri ini, diharapkan dapat memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat yang bergantung pada pekerjaan di sektor ini.
Penting bagi pemerintah untuk melakukan peninjauan ulang terhadap RPMK 2024, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten dan berpengalaman dalam industri tembakau. Adanya dialog dan kerja sama antara pemerintah, pekerja, petani, dan pengusaha dapat membantu menciptakan kebijakan yang lebih adil, dan berkelanjutan, serta memberikan manfaat bagi semua pihak.
Situasi ini menunggu tindakan nyata dari pemerintah dan semua stakeholder untuk berkolaborasi dalam menyusun kebijakan yang tidak hanya sehat bagi masyarakat, tetapi juga berkelanjutan bagi ekosistem industri hasil tembakau di Indonesia. Keputusan yang diambil saat ini akan memengaruhi masa depan jutaan orang dan stabilitas ekonomi sektor yang sangat penting ini.