Hizbullah, kelompok militan dan partai politik yang berbasis di Lebanon, telah menjadi sorotan internasional sejak lama akibat berbagai aksi kekerasan dan keterlibatannya dalam konflik politik di Timur Tengah. Setelah serangkaian insiden yang meresahkan, termasuk serangan-serangan yang mengakibatkan tewasnya banyak jiwa, sembilan negara telah secara resmi melabel Hizbullah sebagai organisasi teroris. Di antara negara-negara tersebut, terdapat Malaysia, yang merupakan tetangga dekat Indonesia.
Amerika Serikat mengawali penetapan label teroris kepada Hizbullah pada tahun 1997, menilai kelompok ini sebagai ancaman major terhadap stabilitas kawasan, terutama bagi sekutu-sekutunya di Timur Tengah. Beberapa serangan yang dikaitkan dengan Hizbullah, termasuk pengeboman kedutaan AS di Beirut pada tahun 1983 yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa, menjadi alasan kuat bagi kebijakan ini. Mantan Presiden AS, Barack Obama, bahkan menyebut Hizbullah sebagai aktor kunci yang berkontribusi pada ketidakstabilan di wilayah tersebut.
Kanada, yang melarang semua aktivitas Hizbullah sejak 2002, juga merujuk pada keterlibatan kelompok ini dalam berbagai kegiatan kriminal, seperti pencucian uang dan perdagangan narkoba. Mereka melihat Hizbullah sebagai kelompok radikal syiah yang terinspirasi dari revolusi Iran. Pendekatan ini mencerminkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan oleh Hizbullah terhadap keamanan global.
Inggris mengubah kebijakannya pada tahun 2019, dengan secara resmi mengklasifikasikan seluruh sayap Hizbullah sebagai organisasi teroris. Sebelumnya, hanya sayap militer yang dikenakan label tersebut. Keputusan Inggris ini didasari oleh bukti-bukti yang menunjukkan bahwa aktivitas Hizbullah berkontribusi pada ancaman keamanan internasional.
Jerman mencatatkan langkah tegas dengan melarang semua aktivitas Hizbullah pada tahun 2020. Pemerintah Jerman menyatakan bahwa kelompok ini telah terlibat dalam penggalangan dana untuk kegiatan teroris dan radikalisasi di Eropa, yang menjadi perhatian serius bagi keamanan domestik.
Di belahan selatan, Australia menjadikan Hizbullah sebagai organisasi teroris penuh pada tahun 2021. Pemerintah Australia mencatat bahwa Hizbullah terlibat dalam serangan teroris di berbagai negara dan memiliki hubungan kuat dengan organisasi teroris lainnya, seperti Hamas dan Jihad Islam Palestina.
Belanda memiliki pandangan serupa dan telah melabel Hizbullah sebagai organisasi teroris sejak tahun 2004. Melalui pernyataan resmi, pemerintah Belanda menekankan keterlibatan Hizbullah dalam serangkaian serangan teroris di Timur Tengah sebagai alasan utama di balik keputusan tersebut.
Sementara itu, Israel tidak mengherankan meletakkan Hizbullah dalam kategori teroris. Negara ini melihat Hizbullah sebagai ancaman eksistensial, mencatat bahwa kelompok ini sering terlibat dalam operasi militer dan serangan roket ke arah Israel. Baru-baru ini, pada Oktober 2024, Israel terlibat dalam konflik baru dengan Hizbullah yang berujung pada pembunuhan Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah, oleh pasukan Israel.
Arab Saudi, sebagai kekuatan dominan di kawasan Teluk, melabel Hizbullah sebagai kelompok teroris karena dukungannya terhadap pemberontak Houthi di Yaman dan hubungannya yang dekat dengan Iran. Meskipun Liga Arab pada Juni 2024 tidak lagi melabel Hizbullah sebagai organisasi teroris, Arab Saudi tetap menganggap perlu masuk dalam daftar tersebut, mencerminkan ketegangan yang masih ada di kawasan itu.
Terakhir, Malaysia, sebagai negara tetangga Indonesia, resmi memasukkan Hizbullah ke dalam daftar organisasi teroris pada tahun 2019. Meskipun langkah ini diambil, implikasi dari keputusan tersebut masih menjadi tanda tanya, mengingat bahwa Malaysia memiliki hubungan diplomatik yang rumit dengan berbagai aktor di Timur Tengah. Kebijakan ini menambah dimensi baru dalam hubungan Malaysia dengan negara-negara lain yang juga melabel Hizbullah sebagai teroris.
Label teroris yang diberikan kepada Hizbullah oleh berbagai negara mencerminkan kekhawatiran terhadap dampak kelompok ini terhadap stabilitas kawasan dan perdamaian global. Sementara sebagian negara menganggap Hizbullah sebagai aktor politik yang legitimate, terdapat konsensus di antara negara-negara tertentu bahwa kegiatan militer dan teroris yang dilakukan oleh kelompok ini sangat merusak. Dengan kompleksitas situasi yang ada, banyak yang berpendapat bahwa langkah-langkah diplomatik diperlukan untuk mencapai solusi yang berkelanjutan di kawasan Timur Tengah.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia mesti mengawasi perkembangan ini, mengingat dampak lanjutan yang dapat muncul dari ketegangan di kawasan tersebut, yang tidak hanya mempengaruhi negara-negara tetangga tetapi juga dapat berdampak pada stabilitas global.