Dunia

23 Tahun Sejak Tragedi 9/11: Momen Awal Perang Teror yang Mengubah Kebijakan AS

Pada hari ini, 11 September 2024, dunia memperingati 23 tahun tragedi 9/11, yang menandai awal dari Perang Teror yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Kejadian mengerikan ini terjadi pada tahun 2001 ketika empat pesawat komersial dibajak oleh sekumpulan teroris dan digunakan sebagai alat untuk menyerang simbol-simbol kekuatan dan kekuasaan AS. Insiden ini mengguncang dunia dan menyebabkan perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri serta keamanan global.

Tragedi 9/11 dimulai dengan serangan terkoordinasi yang menghantam menara kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon, yang mengakibatkan kematian ribuan orang dan menghancurkan infrastruktur penting. Pada pagi hari itu, 19 teroris membajak empat pesawat, dua di antaranya menghancurkan WTC, satu pesawat lainnya menyerang Pentagon, dan yang terakhir jatuh di lapangan di Pennsylvania. Dalam laporan yang diterbitkan oleh CNN, total korban tercatat sebanyak 2.977 orang, yang termasuk penumpang di pesawat, pekerja di WTC, dan anggota militer serta sipil di Pentagon. Dari total itu, 265 orang tewas di pesawat, sementara 2.606 orang menjadi korban di WTC, dan 125 di Pentagon.

Latar belakang serangan ini dapat ditelusuri ke tahun 1996, ketika Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda, mengeluarkan pernyataan perang melawan Amerika dan Israel, menyerukan umat Muslim untuk melakukan jihad. Dalam salah satu wawancara, bin Laden menegaskan bahwa mereka tidak membedakan antara militer dan sipil, suatu pandangan yang tragisnya terbukti pada 9/11.

Setelah peristiwa tersebut, reaksi terhadap serangan ini sangat dramatis baik di dalam masyarakat AS maupun di luar negeri. Melalui survei yang dilakukan oleh Komisi HAM New York pada tahun 2003, terungkap bahwa 69% responden merasa menjadi korban ujaran kebencian, di mana 81% di antaranya adalah penganut Islam. Hal ini menandakan dampak negatif dari retorika yang meningkat terhadap kelompok Muslim dan minoritas lainnya di AS.

Dengan cepat, AS merespons tragedi ini dengan meluncurkan kebijakan "Perang Terhadap Teror”. Pada tanggal 14 September 2001, Dikendalikan oleh pemerintah Presiden George W. Bush, Undang-Undang Otorisasi Penggunaan Kekuatan Militer Terhadap Teroris disahkan untuk melawan mereka yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. Invasi Afghanistan pada Oktober 2001 menjadi langkah awal, dengan tujuan menghancurkan Al-Qaeda dan menggulingkan rezim Taliban yang melindungi mereka. Invasi ini dilakukan setelah Taliban menolak untuk menahan bin Laden.

Seiring berjalannya waktu, ekspansi dari Perang Teror ini menjadi lebih kompleks. Pada tahun 2003, AS meluncurkan invasi Irak dengan tuduhan bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal dan mensponsori terorisme, sebuah langkah yang kemudian diperdebatkan secara luas dalam hal moralitas dan keefektifannya. Mantan Presiden Irak berakhir dieksekusi pada akhir 2006, namun invasi tersebut membuka babak baru konflik berkepanjangan yang masih berdampak hingga saat ini.

Kebijakan Perang Teror ini menimbulkan konsekuensi besar. Jutaan nyawa hilang, baik dari pihak militer maupun sipil, di berbagai negara yang terlibat dalam konflik. Responden yang mencerminkan ketidakpuasan dan kebencian terhadap kebijakan luar negeri AS meningkat. Berbagai kritik menggema tentang moralitas tindakan ini dan dampaknya pada stabilitas regional dan global. Di Afghanistan, meskipun Taliban tergulingkan, perayaan kemenangan tersebut tidak bertahan lama, karena pada Agustus 2021, kelompok tersebut berhasil merebut kembali kekuasaan.

Dampak dari Perang Teror ini juga meluas ke aspek sosial dan ekonomi. Kebijakan keamanan ketat di bandara, pengawasan yang meningkat terhadap individu atau kelompok tertentu, serta embarkasi kebijakan imigrasi yang lebih ketat menjadi norma baru. Kehadiran TSA (Transportation Security Administration) menandai perubahan signifikan dalam cara sistem transportasi udara diatur. Pengecekan lapisan demi lapisan yang diterapkan di berbagai tempat umum menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Dari perspektif global, perang ini juga mempengaruhi hubungan internasional. Negara-negara lain yang mengandalkan AS sebagai mitra strategis dihadapkan pada dilema untuk mendukung atau menentang kebijakan tersebut, dan beberapa negara meningkatkan upaya untuk menangkal ekstremisme di dalam negeri mereka. Peningkatan kerja sama internasional dalam melawan terorisme menjadi fokus baru, dengan banyak negara menyediakan dukungan intelijen dan logistik kepada AS.

Seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan mengenai keefektifan dan hasil dari Perang Teror ini. Pertanyaan yang mendasari kebijakan ini adalah tentang bagaimana merespons ekstremisme, baik lokal maupun global. Analisis terhadap pendekatan yang telah diambil memberikan ruang bagi diskusi lebih lanjut mengenai kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh AS serta dampak yang ditinggalkannya pada masyarakat global.

Mengingat 23 tahun sejak tragedi 9/11, sebuah refleksi mendalam diperlukan untuk mengevaluasi perjalanan perang ini dan dampaknya pada banyak aspek, termasuk sosial, politik, serta empati antar bangsa dan umat manusia. Setiap peringatan 9/11 membawa pelajaran baru, dan dunia terus berupaya memahami dan beradaptasi dengan tantangan keamanan global yang terus berubah.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.

Artikel Terkait

Back to top button