Jakarta: Di tengah dinamika transisi pemerintahan antara Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sorotan kembali tertuju pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sebuah Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang mengharuskan kemasan rokok polos tanpa merek, sebagai bagian dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, mendapatkan kritik tajam. Kebijakan ini dianggap tidak tepat dan dianggap akan memberikan dampak negatif, baik dalam aspek kesehatan maupun ekonomi.
Aspek Hukum dan Ekonomi yang Perlu Diperhatikan
Praktisi Hukum Administrasi Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hari Prasetiyo, menekankan pentingnya kebijakan kesehatan yang mengedepankan aspek hukum. Menurutnya, Kemenkes harus memprioritaskan kebijakannya sesuai dengan bidangnya dan tidak terburu-buru dalam mengatur komoditas yang memiliki dampak luas, terutama yang berhubungan dengan ekonomi. "Dari aturan turunan yang dikeluarkan saat ini, aturan zat adiktif terlalu menyudutkan tembakau dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Kesehatan yang sebelumnya telah disahkan," ungkapnya.
Hari juga menyoroti bahwa pengaturan kemasan rokok polos tampak dipaksakan dan tidak sesuai dengan kebijakan kesehatan serta PP 28/2024. Meskipun Kemenkes menyatakan bahwa kebijakan tersebut mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), realitanya adalah pemerintah Indonesia tidak meratifikasi FCTC tersebut. "Jika tembakau akan diatur, seharusnya pemerintah duduk bersama pelaku usaha untuk membahas dan menyepakati apa yang perlu diatur," tambahnya.
Dampak Terhadap Sektor Bisnis
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy N. Mandey, mengungkapkan kekhawatirannya akan dampak besar yang ditimbulkan oleh kebijakan ini terhadap industri ritel dan pertumbuhan ekonomi. Sektor tembakau, sebagai industri hilir, telah berkontribusi signifikan terhadap pendapatan usaha ritel dan Produk Domestik Bruto (PDB). "Imbas hilangnya pendapatan pelaku usaha dengan adanya PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes perlu dimitigasi dengan baik oleh pemerintah," ujarnya.
Roy juga menyoroti potensi peningkatan penjualan rokok ilegal sebagai akibat dari kebijakan ini. Ia berpendapat bahwa fokus seharusnya tidak hanya pada penindakan terhadap produk legal, tetapi juga pada pengendalian dan pengawasan penjualan rokok ilegal yang selama ini menjadi perhatian pemerintah. "Jika pemerintah ingin fokus pada kesehatan, kami meminta agar pelaku usaha dilibatkan dalam pembahasan aturan ini," tegasnya.
Tuntutan Partisipasi Pelaku Usaha
Tuntutan untuk melibatkan pelaku usaha dalam penyusunan kebijakan semakin menguat. Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Garindra Kartasasmita, menyatakan bahwa proses perumusan peraturan yang dilakukan secara omnibus cenderung mengesampingkan suara pelaku usaha. Ia merasa bahwa pelaku usaha hanya dipandang sebagai ‘cadangan’ dalam pembuatan aturan tersebut.
"Setelah PPnya keluar, Kemenkes mempercepat semua prosesnya. Ini menunjukkan gejala yang aneh, seolah kami ditinggalkan dalam perumusan kebijakan yang relevan bagi kami," tambah Garindra. Ia menegaskan perlunya pemerintah untuk mencari solusi yang inklusif, sehingga aturan yang dibuat dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan.
Harapan untuk Kebijakan yang Berimbang
Dalam situasi ini, banyak pihak berharap agar pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih berimbang dan mempertimbangkan masukan dari pelaku usaha, terutama di sektor yang terkena dampak langsung. Pengaturan yang terlalu ketat tanpa melibatkan pelaku usaha dapat berdampak buruk bagi perekonomian dan justru membuat permasalahan baru, seperti peningkatan aktivitas ilegal.
Sementara itu, perhatian terhadap kesehatan tetap menjadi prioritas yang tidak bisa diabaikan. Namun, penerapan kebijakan yang diskriminatif—yang berpotensi merugikan pelaku usaha yang sudah mematuhi aturan—dapat memicu ketidakpuasan dan gejolak di kalangan komunitas pengguna produk tembakau.
Ketekunan Dalam Proses Dialog
Pengusaha meminta agar Kemenkes bersedia untuk mendengarkan keluhan dan masukan sebelum merumuskan kebijakan yang bersifat mengikat. Adanya dialog antara pemerintah dan pelaku usaha diharapkan dapat menciptakan kebijakan yang tidak hanya sehat secara medis, tetapi juga memberikan ruang bagi industri untuk beroperasi tanpa tertekan oleh aturan yang tidak proporsional.
Perluasan Dialog Ekonomi dan Kesehatan
Momen transisi pemerintahan yang kini dihadapi oleh bangsa dapat menjadi kesempatan untuk memperbaiki hubungan antara pemerintah dan sektor swasta. Keterlibatan berbagai indikator, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi, dalam pembentukan kebijakan sangat penting untuk menciptakan sinergi yang saling menguntungkan. Dalam setiap kebijakan, termasuk yang menyangkut kesehatan, harus ada keseimbangan untuk menciptakan ekosistem yang tidak hanya sehat tetapi juga produktif.
Secara keseluruhan, respons terhadap rancangan peraturan yang berpotensi diskriminatif ini menggambarkan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam pembuatan regulasi. Masyarakat berharap agar pemerintah lebih bijaksana dalam menjalin kerjasama dengan semua pihak, demi mencapai tujuan yang lebih komprehensif dalam bidang kesehatan dan ekonomi bersamaan.