Gaya Hidup

Satu Dikritik, Satu Dipuji: Sorotan di Balik Keseruan Pestapora 2024

Dalam sebuah panggung yang meriah di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta Pusat, mantan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berhasil menghibur ribuan pengunjung dalam acara Pestapora 2024 yang berlangsung pada Jumat malam, 20 September 2024. Penampilan SBY menarik perhatian, bukan hanya karena musiknya, tetapi juga karena munculnya ekspektasi dan perbandingan di antara dua presiden Indonesia yang seangkatan, yakni dirinya dan Joko Widodo (Jokowi).

SBY, yang kini menikmati masa pensiunnya, menampilkan bakatnya di bidang seni, seperti melukis dan bernyanyi. Selama pertunjukan, ia membawakan berbagai lagu, termasuk lagu-lagu populer seperti "Pelangi di Matamu" dari Jamrud, "Kamu Nggak Sendirian" dari Tipe-X, serta lagu ciptaannya sendiri, "Untuk Bumi dan Kuyakin Sampai di Sana." Penampilannya semakin hidup dengan tambahan lagu terkenal "Yellow" dari Coldplay, menjadikan suasana semakin meriah dan membuat para pengunjung terhibur.

Tidak mengherankan jika penampilan SBY mendapat banyak pujian. Pengamat seni dan pecinta musik merespons positif keterlibatan SBY dalam kegiatan seni, melihatnya sebagai cara yang positif untuk menghabiskan waktu di luar politik. Menurut pengamatan, momen ini juga menjadi simbol transisi dalam citra mantan presiden yang banyak mendedikasikan waktu pasca-jabatannya untuk kegiatan kreatif.

Di sisi lain, situasi yang berbeda muncul pada mantan rekan seangkatannya, Joko Widodo, yang tengah menghadapi kritik terkait situasi politik dan isu-isu yang melibatkan keluarganya. Kontroversi yang dihadapi Jokowi berfokus pada kedua anaknya, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, di mana keduanya tengah dalam sorotan publik. Berbagai kritik terlontar terkait kebijakan dan tindakan yang dianggap melibatkan nepotisme. Dalam konteks ini, publik pun tidak bisa tidak membandingkan kekayaan kedua mantan presiden ini, yang menunjukkan perbedaan mencolok dalam perkembangan kekayaan mereka sepanjang karier politik.

Kekayaan Susilo Bambang Yudhoyono tercatat mengalami peningkatan yang signifikan selama masa jabatannya sebagai presiden. Saat pertama kali menjabat pada tahun 2004, SBY melaporkan harta senilai Rp4,65 miliar. Di akhir masa jabatannya pada tahun 2014, ia melaporkan kekayaan yang melonjak menjadi Rp13,98 miliar. Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), harta SBY terdiri dari tanah dan bangunan senilai Rp5 miliar, giro dan kas Rp6 miliar, serta aset transportasi senilai Rp500 juta. Total peningkatan harta selama dia menjabat presiden mencapai Rp9,33 miliar.

Sementara itu, Kekayaan Joko Widodo menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi. Saat Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden di tahun 2014, dia melaporkan harta sebesar Rp29,8 miliar. Namun, setelah hampir satu dekade memimpin, LHKPN mencatatkan bahwa kekayaannya melambung hingga mencapai Rp95,8 miliar. Sebagian besar kekayaan Jokowi berasal dari tanah dan bangunan yang mencapai 20 bidang, bernilai sekitar Rp74,1 miliar. Selain itu, ia memiliki delapan unit kendaraan senilai Rp432 juta serta cash dan setara cash sekitar Rp20 miliar.

Perbandingan kekayaan kedua mantan presiden ini tidak hanya menunjukkan perbedaan angka, tetapi juga mencerminkan persepsi publik terhadap masing-masing pemimpin. SBY, yang kini lebih dikenal sebagai sosok yang ramah dan terbuka, diwujudkan dalam penampilannya yang bermanfaat pasca-jabatannya. Seluruh penampilannya di Pestapora menandai Momen yang penuh kesenangan, menarik perhatian orang banyak yang merindukan karakter pemimpin yang terlibat dalam kegiatan positif dan inklusif.

Di sisi lain, Jokowi, yang menghadapi tantangan dan kritik keras, harus berjuang menjelaskan keputusannya dan memperbaiki citranya. Persoalan keluarganya, yang belakangan ini mengundang perhatian dan kritik, menjadi isu sensitif yang berpengaruh pada pandangan rakyat terhadap kepemimpinannya. Keseimbangan antara popularitas, kekayaan, dan karakter menjadi tantangan besar yang harus dihadapi Jokowi di tahun-tahun terakhir masa jabatannya.

Perbedaan juga terlihat pada bagaimana keduanya mengelola citra di depan publik. SBY tampaknya berhasil menghidupkan kembali pesonanya melalui seni dan kegiatan sosial, sementara Jokowi harus mencari cara untuk menghadapi isu yang menimpanya dan mencari dukungan kembali dari masyarakat yang merasa terpinggirkan oleh tindakan keluarga dari pejabat publik.

Pengamat politik melihat munculnya fenomena ini sebagai refleksi dari harapan dan ekspektasi masyarakat kepada pemimpin mereka. Di satu sisi, ada aspirasi untuk pemimpin yang bisa menggabungkan kekayaan, kekuasaan, dan popularitas dengan kegiatan yang membawa dampak positif bagi masyarakat. Di sisi lain, tantangan yang dihadapi Jokowi menjadi pengingat bahwa meskipun kekayaan dan status dapat memberikan legitimasi, masyarakat tetap menuntut keadilan dan transparansi dari setiap keputusan yang diambil oleh para pejabat publik, baik di masa lalu maupun kini.

Dengan demikian, Pestapora 2024 bukan hanya sekadar pertunjukan seni, tetapi juga refleksi dari dinamika politik yang dihadapi Indonesia, terutama terkait citra dan reputasi mantan presiden yang sedang berada di tengah sorotan masyarakat. SBY, dengan kesenian dan pendekatannya yang akrab, berhasil meraih pujian, sementara Jokowi menghadapi tantangan yang berat dalam mengelola citranya di mata publik.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button