PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) telah merespons positif kebijakan pemerintah yang memberikan peluang insentif untuk kendaraan berbahan bakar nabati (BBN), dalam hal ini bioetanol. Hal ini menjadi langkah strategis, mengingat sebagian besar mobil yang diproduksi oleh Toyota sudah dilengkapi dengan teknologi flexy fuel yang mendukung penggunaan bioetanol. Wakil Presiden Direktur TMMIN, Bob Azam, menyampaikan bahwa kolaborasi yang melibatkan banyak pihak diperlukan agar pengembangan ekosistem bioetanol dapat berjalan efektif dan memberikan dampak positif, terutama bagi sektor pertanian.
Kebijakan dan Insentif Bioetanol
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa insentif bagi produsen kendaraan bioetanol akan diberikan dengan syarat adanya komitmen untuk membangun ekosistem dari hulu hingga hilir. Dalam penjelasannya, Bob Azam menegaskan bahwa pengembangan bioetanol tidak dapat dikelola oleh satu pihak saja. "Tidak bisa dari hulu ke hilir hanya dipegang oleh satu pihak. Harus melibatkan banyak pihak supaya multiplier effect ekonominya dirasakan," ujarnya. Ia juga mencatat bahwa pengalaman dalam penggunaan biodiesel menunjukkan pentingnya keterlibatan berbagai pihak.
Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya tidak hanya fokus pada produksi kendaraan, tetapi juga pada pengembangan rantai pasok yang melibatkan petani sebagai produsen bahan baku. Bob menambahkan, banyak negara di dunia sudah menerapkan kebijakan pencampuran etanol dalam bahan bakar dengan kadar antara 5% (E5) hingga 10% (E10). Langkah ini diambil untuk mengurangi emisi, meningkatkan nilai tambah bagi petani, serta memperkuat penggunaan energi terbarukan.
Di Indonesia sendiri, Pertamax Green 95 telah hadir sebagai produk BBM campuran bioetanol 5% yang sudah tersedia di 75 SPBU di Jakarta dan Surabaya. Upaya ini termasuk dalam rencana untuk meningkatkan campuran bioetanol pada bensin, yang dikenal sebagai E5, dan diharapkan bisa menjadi 10% pada tahun 2029. Kendati demikian, Bob mengingatkan bahwa progres pengembangan bioetanol di Indonesia tergolong lambat. Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015, Indonesia seharusnya sudah menggunakan campuran etanol hingga 20% pada tahun 2025.
Tantangan dan Realitas
Bob Azam juga menyoroti penurunan target bauran energi baru terbarukan (EBT) yang ditetapkan sebelumnya. Target awal yang semula 23% kini direvisi menjadi 17-19% menjelang tahun 2025. "Pada akhir 2023, bauran EBT di Indonesia baru mencapai 13,1%. Ini masih jauh dari target yang ditetapkan," ungkapnya. Pencapaian penuh dari aspek renewable energy menjadi isu penting, terutama dalam konteks mencapai target Nationally Determined Contributions (NDC) untuk tahun 2030.
Peluang untuk Insentif
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa saat ini belum ada pembahasan khusus mengenai insentif untuk kendaraan bioetanol. Ia menyebutkan bahwa meskipun peluang tersebut ada, pelaku industri yang ingin mendapatkan insentif harus berkomitmen untuk membangun ekosistem yang solid dan menarik investasi serupa dengan kendaraan listrik berbasis baterai.
Eniya mengisyaratkan bahwa insentif akan diberikan kepada semua pelaku usaha yang berkomitmen untuk mitigasi iklim dan penurunan emisi. "Skenario-skenario itu mungkin bisa membangun, dan untuk memberikan insentif, tergantung dari dana APBN yang tersedia," ujar Eniya dalam sebuah konferensi di Jakarta. Ini menunjukkan bahwa keberlangsungan program insentif sangat tergantung pada kebijakan pemerintah dan dukungan pendanaan.
Contoh Implementasi dari Negara Lain
Pentingnya mengembangkan ekosistem ini tercermin pada contoh dari produsen otomotif seperti Hyundai yang membangun fasilitas packing baterai di Cikarang, Jawa Barat. Investasi yang dilakukan oleh PT Hyundai Energy Indonesia mencapai sekitar US$60 juta. Selain itu, PT Indonesia BTR New Energy Material, yang berfokus pada produksi komponen baterai kendaraan listrik, juga menunjukkan semangat investasi yang kuat di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal, Jawa Tengah, dengan total investasi mencapai lebih dari US$700 juta.
Eniya menegaskan bahwa untuk memberikan insentif bagi kendaraan bioetanol, perlu adanya kejelasan dan kesinambungan dalam pembangunan ekosistem yang solid. Dengan kolaborasi yang tepat, diharapkan insentif tersebut dapat terwujud, dan sistem transportasi berbasis bioetanol dapat berkembang lebih substansial.
Dari Mobil ke Kebijakan Energi Nasional
Kombinasi antara kebijakan pemerintah yang mendukung, respons positif dari industri otomotif seperti Toyota, dan keterlibatan berbagai pihak akan menjadi kunci sukses implementasi program bioetanol ini. Untuk itu, semua pemangku kepentingan harus bersinergi dalam menciptakan ekosistem yang mendukung peralihan ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Sementara sebagian orang memandang lembaga pemerintah dan perusahaan otomotif sebagai pilar utama dalam upaya tersebut, penting juga untuk melibatkan masyarakat, petani, dan komunitas lokal dalam mendukung peralihan ini secara berkelanjutan.
Kemajuan dalam sektor energi terbarukan dan pengembangan bioetanol ini memerlukan perhatian yang serius dari semua pihak, terutama dalam menjaga keselarasan antara kebijakan yang diambil pemerintah dengan aspirasi industri otomotif dan harapan masyarakat untuk lingkungan yang lebih baik.