Pengembangan alat uji cepat infeksi seperti Nucleopad menjadi lompatan signifikan dalam penanganan penyakit menular di Indonesia. Disampaikan oleh Muhammad Yusuf, inovator dari Universitas Padjadjaran, inovasi ini bukan hanya menawarkan solusi diagnostik yang cepat, tetapi juga efisien dalam konteks waktu, yang merupakan faktor krusial dalam pengobatan penyakit seperti tuberkulosis (TB), demam dengue, dan chikungunya. Nucleopad dirancang untuk memberikan hasil dalam waktu hanya 15 menit, menggunakan metode visual sederhana yang tidak memerlukan peralatan laboratorium yang rumit.
Nucleopad merupakan alat visual berbasis in vitro imunokromatografi kertas yang mendeteksi DNA hasil amplifikasi dari Polymerase Chain Reaction (PCR). Dengan teknologi ini, proses diagnosa yang biasanya kompleks kini dapat dilakukan secara lebih sederhana. “Dengan produk ini, kami bisa mendeteksi penyakit infeksi seperti TB dengan lebih cepat dan efisien. Tentunya akan sangat membantu dalam penanganan penyakit tersebut,” ujar Yusuf. Hal ini menunjukkan potensi besar dari alat tersebut untuk meningkatkan respons kesehatan masyarakat.
Inovasi tersebut didukung oleh Matching Fund 2023 dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan total pendanaan Rp1,3 miliar, ditambah dukungan dari mitra industri. Nucleopad tidak hanya fokus pada TB, tetapi juga dapat digunakan untuk mendeteksi demam dengue dan chikungunya, memperluas cakupan penggunaan alat ini dalam mengatasi krisis kesehatan.
Keunggulan Nucleopad tidak hanya terletak pada kecepatan dan kemudahan penggunaannya, tetapi juga pada akurasi deteksi. Dengan sensitivitas mencapai 75 persen dan spesifisitas 95 persen, Nucleopad menunjukkan performa yang lebih baik daripada metode konvensional seperti elektroforesis, yang hanya memiliki sensitivitas 60 persen. Alat ini juga berkontribusi pada keberlanjutan dengan mengurangi penggunaan bahan kimia dalam proses visualisasi hasil PCR, menjadikannya ramah lingkungan.
Dengan adanya Nucleopad, biaya pengadaan alat diagnostik diharapkan dapat ditekan, membuka akses lebih luas bagi masyarakat terhadap teknologi diagnostik yang lebih terjangkau. “Kemandirian dalam alat diagnostik sangat penting untuk menurunkan biaya kesehatan dan meningkatkan pelayanan,” kata Yusuf. Ini sangat relevan mengingat Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan dalam ketergantungan pada alat kesehatan impor, yang seperti dicatat oleh Lembaga Pengembangan Ekspor Indonesia (LPEI), mencapai nilai USD1,1 miliar pada tahun 2021.
Pengembangan Nucleopad merupakan hasil dari program Teaching Factory yang menghubungkan pendidikan dengan industri, memungkinkan inovasi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan diagnostik saat ini, tetapi juga mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil dan inovatif untuk masa depan. Kolaborasi ini merupakan bagian dari misi Universitas Padjadjaran dan PT Pakar Biomedika Indonesia untuk meningkatkan kemandirian bangsa dalam sektor kesehatan.
Ketua tim riset, Muhammad Yusuf, menekankan pentingnya sinergi antara akademisi dan industri. “Melalui Teaching Factory, kami ingin menciptakan SDM yang tidak hanya kompeten tetapi juga mampu berinovasi. Kerja sama kami dengan industri memungkinkan transfer teknologi yang mempercepat proses pengembangan alat diagnostik dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang lebih tinggi,” jelasnya.
Transisi menuju kemandirian di sektor kesehatan Indonesia menjadi semakin mendesak. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2020, sekitar 90 persen bahan baku obat adalah impor. Keberadaan produk lokal seperti Nucleopad diharapkan dapat menanggulangi hal ini, mengurangi ketergantungan pada produk luar negeri dan meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri.
Selain itu, program Dana Padanan dan Kedaireka yang diluncurkan sejak tahun 2020 menunjukkan hasil positif dalam kolaborasi riset antara perguruan tinggi dan dunia industri, di mana jumlah proposal penelitian meningkat drastis dari 1.200 pada 2021 menjadi 5.600 pada 2023. Dengan peningkatan pendanaan hingga 420 persen, hal ini mendukung upaya memperkuat kemandirian dan daya saing Indonesia di tingkat global.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Abdul Haris, menggarisbawahi pentingnya inovasi sebagai pendorong penting dalam perekonomian dan daya saing. “Kolaborasi antara perguruan tinggi dan dunia usaha memiliki potensi besar untuk menciptakan reka cipta unggul dan solusi efektif,” ungkapnya.
Inovasi seperti Nucleopad menjadi harapan baru dalam membangun ekosistem kesehatan yang lebih kuat dan mandiri di Indonesia. Sinergi antara riset akademis dan industri, dipadukan dengan dukungan kebijakan yang tepat, dapat menghasilkan produk yang tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat tetapi juga mengukuhkan posisi Indonesia dalam industri kesehatan global. Seiring dengan upaya ini, Nucleopad menandai langkah awal yang penting menuju kemandirian dan keberlanjutan dalam sektor kesehatan di tanah air.