Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia membuka peluang bagi kendaraan berbahan bakar nabati, khususnya bioetanol, untuk mendapatkan insentif. Langkah ini bertujuan untuk mendorong pengembangan ekosistem energi terbarukan dan mendukung komitmen mitigasi perubahan iklim di tanah air. Namun, meskipun peluang tersebut ada, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan khusus terkait insentif untuk kendaraan bioetanol.
Menurut Eniya, insentif untuk kendaraan bioetanol dapat diberikan kepada pelaku usaha yang berkomitmen untuk melakukan penurunan emisi dan mitigasi iklim. Dalam situasi ini, nilai ekonomi karbon bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam memberikan insentif. Eniya menyatakan bahwa berbagai skenario yang ada akan terus di evaluasi dan dikembangkan, tetapi pencairan dana untuk insentif tersebut masih tergantung pada alokasi anggaran pemerintah, terutama APBN.
“Jika produsen kendaraan bioetanol ingin mendapatkan insentif, mereka perlu berkomitmen untuk membangun ekosistem dari hulu ke hilir, serta menarik investasi seperti yang telah dilakukan oleh industri kendaraan listrik berbasis baterai,” ujar Eniya dalam sebuah acara di Jakarta.
Salah satu contohnya adalah produsen otomotif asal Korea Selatan, Hyundai, yang telah menyiapkan fasilitas pengemasan baterai di Cikarang, Jawa Barat. Investasi yang dicurahkan oleh PT Hyundai Energy Indonesia untuk fasilitas tersebut mencapai sekitar US$60 juta, setara dengan Rp900 miliar. Selain itu, ada juga PT Indonesia BTR New Energy Material, yang merupakan produsen anoda untuk baterai kendaraan listrik, yang telah menggulirkan investasi besar dengan total mencapai hampir US$800 juta dalam dua tahap.
Eniya menegaskan pentingnya sebuah ekosistem yang utuh untuk industri bioetanol agar insentif dapat diberlakukan. “Kalau ekosistem ini terbentuk, insentif juga bisa datang karena ada investasi yang masuk. Maka kami menekankan pentingnya kemitraan dan kolaborasi antara pelaku industri,” tuturnya.
Saat ini, penggunaan bioetanol di Indonesia sudah dimulai dengan adanya Pertamax Green 95, sebuah bahan bakar minyak (BBM) yang telah dicampur bioetanol sebanyak 5%. Produk ini telah tersedia di 75 SPBU yang tersebar di Jakarta dan Surabaya, dan rencananya penggunaan campuran bioetanol ini akan ditingkatkan menjadi 10% pada tahun 2029. Meskipun demikian, Eniya mengakui bahwa progres pengembangan bioetanol di Indonesia tergolong lambat. Jika mengikuti ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015, seharusnya Indonesia dapat menggunakan campuran etanol sebanyak 20% pada tahun 2025.
Dalam konteks ini, Eniya menekankan bahwa perlu ada kebijakan yang lebih tegas untuk mengakselerasi pengembangan industri bioetanol. Dari total 13 industri bioetanol yang ada di Indonesia, hanya ada dua yang memenuhi kriteria untuk masuk dalam kategori fuel grade. Sebagian besar lainnya masih dalam kategori food grade, yang berarti belum siap untuk dipasarkan sebagai bahan bakar alternatif.
Upaya untuk memacu industri bioetanol akan membutuhkan kolaborasi dari semua pihak, terutama dalam hal investasi dan dukungan regulasi dari pemerintah. Eniya juga menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi di sektor energi baru terbarukan. Dengan adanya insentif yang tepat, diharapkan dapat menarik lebih banyak investor untuk mengembangkan sektor ini.
Sementara itu, prospek kendaraan bioetanol di pasar otomotif global menunjukkan peningkatan minat terhadap solusi kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk bersaing di pasar internasional, khususnya dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan transisi energi global.
Masyarakat juga diharapkan mulai beralih ke penggunaan bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan. Bioetanol sebagai salah satu alternatif bahan bakar dapat berkontribusi dalam mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Dengan komitmen bersama antara pemerintah, produsen, dan masyarakat, pelaksanaan penggunaan bioetanol dapat berjalan lebih cepat dan efektif.
ESDM berharap agar industri otomotif dapat berinovasi dan beradaptasi untuk memanfaatkan kopetensi lokal serta memperkuat pengembangan teknologi bahan bakar ramah lingkungan. Selain itu, pemerintah juga berkomitmen untuk memberikan dukungan serta pembinaan bagi pelaku industri bioetanol agar dapat memenuhi standar dan regulasi yang diperlukan.
Dari sudut pandang lingkungan, implementasi bioetanol sebagai salah satu bahan bakar alternatif sangat mendukung upaya pengurangan emisi karbon. Dengan penanaman komitmen yang kuat dari berbagai pihak, diharapkan Indonesia dapat lebih maju dalam bidang energi terbarukan dan berperan aktif dalam upaya mitigasi perubahan iklim global.
Melihat pentingnya peran bioetanol dalam sistem energi berkelanjutan, diharapkan ke depan akan ada peraturan dan kebijakan yang lebih terarah dan menyeluruh untuk pengembangan industri ini. Dukungan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, pelaku industri, maupun masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan kelangsungan dan keberhasilan implementasi bioetanol sebagai salah satu solusi energi masa depan di Indonesia.