Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) berencana merilis kebijakan baru terkait kemasan rokok yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). Aturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang bertujuan untuk mengatur desain kemasan rokok agar polos dan seragam. Kebijakan ini menyasar pengendalian terhadap rokok dan zat adiktif lainnya, tetapi dalam prosesnya, hal ini memunculkan banyak kritik dan kekhawatiran dari berbagai pihak, terutama tentang dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap produk rokok ilegal.
Siti Nadia Tarmizi, Kabiro Komunikasi & Pelayanan Publik Kemenkes RI, menyatakan bahwa kebijakan ini bukanlah larangan untuk merokok. "Kami tidak melarang orang merokok. Orang tetap boleh merokok karena merokok adalah hak dari masing-masing," ujarnya. Namun, banyak pihak meragukan penerapan kebijakan ini, yang dianggap dapat menciptakan celah bagi penjualan produk rokok ilegal, yang pada gilirannya malah mengacaukan upaya pemerintah untuk menurunkan angka perokok di Indonesia.
Roy N Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), memberikan pandangannya mengenai potensi maraknya produk rokok ilegal akibat kebijakan ini. Ia mengungkapkan bahwa saat ini produk rokok ilegal telah cukup banyak beredar dan apabila RPMK disahkan, maka kemungkinan besar angka tersebut akan meningkat. "Persoalannya sekarang di sektor perdagangan, kami bukan berhadapan dengan bagaimana pelarangan ini, tapi justru bagaimana rokok ilegal jadi marak," tandas Roy dalam sebuah tayangan di Metro TV.
Kekhawatiran akan dampak ekonomi yang ditimbulkan dari kebijakan ini juga diungkapkan oleh Benny Wachjudi, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO). Ia menekankan bahwa meskipun advokasi untuk industri rokok tidak berarti menentang kesehatan, penting untuk mempertimbangkan bagaimana kebijakan ini dapat memengaruhi perekonomian nasional. Ia mencatat, "Kalau kita lihat cukai yang diterima… industri rokok menghasilkan negara Rp200 triliun lebih." Kebijakan yang mengarah pada pelarangan desain kemasan yang menarik dinilai dapat mengurangi pendapatan negara dari sektor ini.
Dalam hal ini, ekonom dari INDEF, Andry Satrio Nugroho, juga menyuarakan keprihatinan serupa. Menurutnya, jika kebijakan kemasan polos ini diterapkan, Indonesia bisa kehilangan penerimaan cukai rokok yang diperkirakan mencapai Rp96 triliun. Dampak ini, kata Andry, sangat signifikan terutama mengingat banyak negara lain yang memiliki pendekatan berbeda dalam membatasi konsumsi rokok.
Selain itu, Andry memberikan perhatian khusus pada fenomena down trading, di mana konsumen cenderung beralih ke produk rokok yang lebih murah sebagai dampak dari kebijakan ini. "Mereka yang sekarang sudah tidak ada lagi pemisahan antara satu rokok dengan rokok yang lainnya. Mereka mencari yang murah. Ilegal pun gampang banget menirunya," tuturnya. Kemudahan dalam memproduksi dan memasukkan produk ilegal dengan harga yang lebih terjangkau, bisa membuat perbedaan antara produk legal dan ilegal semakin kabur.
Salah satu bukti konkret yang menggambarkan masalah ini muncul pada 7 September 2024, ketika tiga pedagang besar terbukti menjual 78.000 bungkus rokok ilegal dan hanya dikenakan denda. Ini menunjukkan bagaimana penegakan hukum terhadap produk rokok ilegal masih sangat lemah, dan dikhawatirkan akan semakin sulit jika kebijakan RPMK diterapkan. Penjualan produk ilegal ini bukan hanya merugikan perekonomian, tetapi juga berpotensi menyebabkan peningkatan jumlah perokok di kalangan masyarakat karena akses terhadap rokok yang lebih murah dan tanpa kontrol kesehatan yang memadai.
Oleh karena itu, berbagai kalangan, dari pengusaha hingga ekonom, tetap mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini. Mereka meminta agar fokus pada penanganan dan pengawasan terhadap produk rokok ilegal perlu ditingkatkan, ketimbang hanya menerbitkan kebijakan yang bisa memperburuk situasi. Penting bagi semua pihak untuk mendiskusikan implikasi jangka panjang dari RPMK ini terhadap industri rokok, kesehatan masyarakat, dan pendapatan negara.
Kebijakan pemerintah bukan hanya sekadar langkah untuk menurunkan angka perokok, tetapi juga harus diimbangi dengan perhatian serius terhadap dampak ekonomi yang mungkin ditimbulkan. Diskusi dan penelitian lebih mendalam diperlukan untuk mengembangkan kebijakan yang seimbang dan efektif dalam menghadapi tantangan di sektor ini. Dengan langkah yang tepat, diharapkan dapat tercapai tujuan kesehatan tanpa merugikan perekonomian negara dan menambah jumlah produk rokok ilegal yang sudah cukup meresahkan.