Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah merencanakan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur kemasan rokok agar menjadi polos dan seragam. Kebijakan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang bertujuan untuk pengendalian penggunaan rokok dan zat adiktif lainnya. Dalam sebuah pernyataan, Kabiro Komunikasi & Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menegaskan bahwa pemerintah tidak melarang orang untuk merokok, karena hal tersebut merupakan hak individu. Namun, kebijakan RPMK ini mulai menuai berbagai kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan.
Salah satu isu utama adalah dampak kebijakan ini terhadap industri rokok di Tanah Air. Para pengamat serta anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menyatakan keprihatinan bahwa kebijakan yang hanya melihat sisi kesehatan ini dapat merugikan para pelaku industri rokok, yang pada gilirannya akan berdampak pada perekonomian negara. "Ini bermula dari pembahasan Undang-undang Kesehatan Nomor 17 tahun 2023. Kami sudah melakukan pembahasan yang cukup panjang, tapi penyusunan RPMK ini nampak seperti tidak mendengar suara dari para pemangku kepentingan yang terlibat di sektor ini," jelas Saleh dalam suatu tayangan televisi.
Kritik Terhadap Pendekatan Kebijakan
Saleh menuturkan bahwa tujuan Kemenkes dalam merumuskan RPMK seharusnya tidak hanya melihat dari aspek kesehatan, tetapi juga mempertimbangkan dampak terhadap aspek bisnis dan ekonomi. “Salah satu yang membuat RPMK ini cukup lama dan akhirnya tertunda adalah karena pihak Kementerian Kesehatan sulit menjabarkan detail implementasi. Banyak hal yang seharusnya diperhatikan, namun tidak diakomodir,” ujar Saleh. Pembuatan kebijakan yang tidak integratif ini dikhawatirkan dapat memperburuk situasi bagi industri yang sedang berjuang dengan berbagai tantangan.
Siti Nadia menanggapi kritik tersebut dengan menyatakan, "Kami mendengarkan semua, tetapi tidak semua aspirasi tersebut dapat kami akomodir." Meskipun ia mengakui ada banyak masukan, fokus utama tetap pada pengendalian rokok dan upaya untuk melindungi kesehatan masyarakat. Di sisi lain, para pengkritik menilai bahwa pengambilan keputusan yang cenderung sepihak ini berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar di masa depan.
Dampak Ekonomi dari Kebijakan Kemasan Polos
Sektor rokok di Indonesia dikenal sebagai salah satu sumber pendapatan negara melalui cukai. Data terbaru menunjukkan bahwa sektor ini menyumbang sekitar Rp213 triliun dari total anggaran pendapatan negara, dengan sebagian besar anggaran tersebut digunakan untuk mendukung program kesehatan seperti BPJS Kesehatan. “Kalau kita lihat, anggaran kementerian kesehatan untuk tahun 2025 saja hanya sekitar Rp90 triliun,” ungkap Saleh. Ini menunjukkan bahwa ada ketergantungan yang signifikan antara pendapatan dari hasil cukai rokok dan alokasi untuk sektor kesehatan.
Dengan dipaksa untuk menggunakan kemasan polos, logo dan merek dagang yang biasa dikenakan oleh produk rokok akan dihapus, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya tarik produk di mata konsumen. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan penjualan, yang akan berimplikasi langsung pada pendapatan dari pajak dan dampaknya terhadap perekonomian negara.
Menyeimbangkan Aspek Kesehatan dan Ekonomi
Dalam memproyeksikan kebijakan, penting untuk menemukan keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan keberlangsungan industri rokok. Kebijakan yang diambil seharusnya mempertimbangkan tidak hanya kesehatan tetapi juga dampak luas terhadap perekonomian. Para ahli kesehatan meminta agar pemerintah melakukan pendekatan yang lebih holistik, sehingga semua pemangku kepentingan di dalam dan luar sektor bisa dilibatkan.
Salah satu cara dalam menyeimbangkan kedua kepentingan ini adalah dengan melakukan dialog terbuka dengan semua pihak, termasuk perwakilan dari industri rokok, organisasi kesehatan, dan lembaga pemerintah terkait. Hasil dari dialog ini bisa menjadi masukan berharga dalam merancang RPMK yang lebih komprehensif dan efektif. Dengan demikian, peraturan yang dihasilkan tidak hanya akan memberikan arah yang jelas dalam pengendalian rokok, tetapi juga akan menjaga kestabilan sektor industri yang berkontribusi pada perekonomian negara.
Adalah penting untuk memikirkan bahwa kebijakan kesehatan tidak seharusnya saling bertentangan dengan aspek bisnis dan ekonomi. Jika pemerintah mampu menemukan titik temu yang tepat antara keduanya, hasil dari kebijakan ini bisa mendatangkan keuntungan luas bukan hanya untuk kesehatan masyarakat, tetapi juga untuk keberlangsungan ekonomi nasional.
Dengan situasi ini, penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan industri rokok untuk saling berkolaborasi dan mengedepankan dialog terbuka. Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan kolaboratif, kebijakan yang diambil diharapkan dapat memberikan solusi yang berimbang bagi kepentingan kesehatan masyarakat tanpa mengesampingkan aspek ekonomi.