Hingga tahun 2020, Indonesia mencatat sekitar 3,7 juta orang yang mengalami kebutaan yang disebabkan oleh berbagai kondisi medis, termasuk kelainan kornea. Menurut data dari Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), diperkirakan satu dari seribu penduduk, atau sekitar 270 ribu orang dari total 270 juta masyarakat Indonesia, mengalami kebutaan akibat kelainan pada kornea. Kondisi ini tidak hanya berpotensi menghalangi seseorang dari menikmati kehidupan secara penuh, tetapi juga dapat menurunkan produktivitas dan memengaruhi kesehatan mental individu.
Kornea Si Pelindung Mata
Kornea, sebagai lapisan transparan di bagian depan mata, berfungsi sebagai pelindung yang efektif dari paparan benda asing serta menyaring sinar ultraviolet. Fungsi utama kornea adalah mengatur fokus cahaya sehingga memungkinkan penglihatan yang jelas. Namun, kerusakan pada kornea, baik akibat penyakit, infeksi, atau trauma, dapat mengganggu fungsi ini. Gejala kerusakan kornea bervariasi dari ringan hingga parah, bisa menyebabkan photophobia, rasa perih, atau bahkan kebutaan.
Menanggapi masalah ini, Dr. Sharita R. Siregar, Sp.M (K), MD, yang merupakan Koordinator Kornea di Indonesian Society of Cataract and Refractive Surgery (INASCRS), menjelaskan bahwa degenerasi kornea, kelainan genetik, infeksi, dan trauma adalah beberapa faktor penyebab kerusakan kornea. "Jika mengalami gejala tersebut, segera konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan lebih lanjut," ujarnya dalam acara INASCRS tahun ini.
Transplantasi Kornea: Harapan bagi Yang Terkesan
Di tengah tantangan tersebut, transplantasi kornea atau keratoplasti hadir sebagai harapan bagi mereka yang mengalami kebutaan akibat kerusakan kornea. Prosedur medis ini bertujuan untuk mengganti lapisan kornea yang rusak atau sakit dengan kornea sehat dari donor. Anda disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis mata sebelum menjalani prosedur ini untuk memastikan terapi yang diperlukan.
Transplantasi kornea dibagi menjadi dua kategori, total (penetrating keratoplasty) di mana seluruh lapisan kornea diganti, dan sebagian (lamellar keratoplasty) yang hanya menggantikan bagian yang rusak. Proses ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas penglihatan bagi pasien yang mengalami kebutaan akibat kerusakan kornea.
Meskipun ada harapan melalui transplantasi kornea, kebutuhan akan donor kornea di Indonesia sangat tinggi. Dr. Johan A. Hutauruk, Sp.M (K), MD, yang juga merupakan Ketua INACORS, menyatakan bahwa kekurangan edukasi dan kesadaran masyarakat dalam mendonorkan kornea menjadi tantangan besar. Saat ini, Indonesia hanya memiliki sekitar 500 pendonor kornea per tahun, jauh dibandingkan dengan 80.000 pendonor di Amerika Serikat, sementara kebutuhan hanya mencapai 50.000 pendonor di negara tersebut.
Kesadaran dan Edukasi Penting untuk Meningkatkan Ketersediaan Donor
Rendahnya jumlah pendonor di Indonesia sangat mencolok dan menciptakan kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan. Kebanyakan pendonor yang terdaftar adalah anak-anak SMA yang masih memiliki harapan hidup panjang. Di sisi lain, tantangan juga muncul dari fasilitas kesehatan yang terbatas untuk menangani proses transplantasi, yang menjadi hambatan dalam memperbaiki angka kebutaan di Indonesia.
Event The 7th Indonesian Society of Cataract and Refractive Surgery (INASCRS) Biennial Meeting yang diadakan bersamaan dengan The 9th Asia Cornea Society (ACS) Biennial Scientific Meeting 2024 menawarkan jalan kerjasama dalam penelitian dan pengembangan kesehatan mata. Keputusan untuk menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dalam pertukaran ilmu dan teknologi di bidang kornea diharapkan dapat memperbaiki situasi ini. Kerjasama ini juga bertujuan untuk meningkatkan jumlah ahli bedah kornea di Indonesia, mendukung pertumbuhan dan perkembangan fungsi kesehatan mata.
Masyarakat Diharapkan Berperan Aktif
Dalam konteks ini, upaya kolaboratif antara penyedia layanan kesehatan dan komunitas sangat penting untuk maksimalisasi transplantasi kornea. Edukasi tentang pentingnya kesehatan mata dan kesadaran untuk mendonorkan kornea merupakan langkah pertama untuk mengatasi kendala ini. Masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan aktivitas edukasi untuk mendorong peningkatan jumlah pendonor, sehingga angka kebutaan akibat kerusakan kornea dapat berkurang.
Di balai pertemuan tersebut, Dr. Prof. Donald Tan, Sekretaris Jenderal ACS, menambahkan harapannya untuk mendorong dokter spesialis mata saling berbagi ilmu, memperluas jaringan internasional, dan memperbarui metode perawatan medis terkait kornea di Indonesia serta di Asia.
Dengan sinergi antara pelaku kesehatan, edukasi kepada masyarakat, serta ketersediaan layanan kesehatan yang lebih baik, diharapkan dalam waktu dekat angka kebutaan akibat kerusakan kornea akan menurun, dan lebih banyak individu di Indonesia dapat menikmati terang dunia melalui penglihatan yang lebih baik.