Analisis terbaru dari Climate Central mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan serius terkait suhu ekstrem, dengan empat kota di negara ini mencapai posisi teratas sebagai kota paling panas di Asia Tenggara selama periode Juni hingga Agustus 2024. Makassar, Sumedang, Bandar Lampung, dan Palembang dilaporkan mengalami sejumlah hari panas tertinggi, yang anomali ini menandakan dampak nyata dari perubahan iklim yang semakin meresahkan.
Laporan Climate Central, yang merupakan lembaga nirlaba yang berfokus pada isu perubahan iklim, mencatat bahwa Makassar mengalami 88 hari panas, diikuti oleh Sumedang dengan 83 hari. Sementara itu, Bandar Lampung dan Palembang masing-masing mencatat 81 hari panas. Davao di Filipina menjadi kota kelima yang turut menderita, dengan 83 hari suhu ekstrem. Kenaikan suhu yang signifikan ini bukan hanya sekadar angka; ia menyiratkan ancaman kesehatan yang nyata bagi miliaran orang.
Wakil Presiden Bidang Sains di Climate Central, Andrew Pershing, mengungkapkan keprihatinannya mengenai fenomena ini. Ia menyatakan, "Suhu tinggi yang jelas-jelas dipengaruhi oleh perubahan iklim telah mengancam kesehatan miliaran orang di seluruh dunia selama tiga bulan terakhir. Tidak ada wilayah, negara, atau kota yang aman dari bahaya mematikan yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil." Pernyataan ini mencerminkan pandangan bahwa masalah ini jauh lebih besar daripada sekadar statistik; ada risiko kesehatan yang dikaitkan dengan suhu tinggi yang berkepanjangan.
Penggunaan Climate Shift Index (CSI) dalam analisis ini memungkinkan pengukuran dampak perubahan iklim terhadap suhu, dengan tujuan mengestimasi jumlah penduduk yang terpapar kondisi ekstrem. Di Indonesia, yang memiliki populasi terbesar di Asia Tenggara, diperkirakan sekitar 128 juta orang terpapar CSI 5 selama lebih dari 60 hari. Interpretasi dari data ini menunjukkan bahwa suhu yang dirasakan di wilayah tersebut bisa setidaknya lima kali lebih tinggi daripada suhu yang seharusnya terjadi tanpa dampak perubahan iklim.
Dampak suhu ekstrem tidak hanya terbatas di Indonesia. Hal serupa terjadi di negara tetangga, seperti Filipina, Singapura, dan Vietnam, di mana hampir seluruh penduduk terpapar suhu berbahaya selama setidaknya seminggu. Bahkan, lebih dari dua pertiga populasi Thailand dan Indonesia mengalami paparan suhu yang mengancam kesehatan dalam skala serupa. "Kondisi itu tiga kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim," jelas Pershing.
Laporan ini menggambarkan Asia Tenggara sebagai wilayah dengan jumlah penduduk terbesar yang terpapar suhu ekstrem. Selama 60 hari pada musim panas tahun ini, lebih dari 204 juta orang di kawasan ini mengalami suhu yang meningkat setidaknya lima kali lipat akibat dampak perubahan iklim. Di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina, suhu naik setidaknya tiga kali lipat selama lebih dari 60 hari.
Analisis mendalam mengenai suhu ekstrem ini menunjukkan bahwa meningkatnya suhu bukan hanya menjadi tantangan bagi lingkungan, tetapi juga berimplikasi langsung pada kesehatan masyarakat. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk heat stroke, dehidrasi, serta memperburuk kondisi penyakit yang sudah ada.
Kota Makassar, sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, tentunya harus menghadapi berbagai konsekuensi akibat suhu tinggi yang berkepanjangan. Pertumbuhan urbanisasi dan ekspansi industri yang cepat di kota ini memberikan tekanan tambahan pada lingkungan. Hal ini mengharuskan pemerintah dan masyarakat untuk mencari solusi yang inovatif dan berkelanjutan agar menghadapi tantangan suhu ekstrem ini secara efektif.
Kota Sumedang, dengan segala keindahan alamnya, kini juga harus beradaptasi terhadap perubahan iklim. Penyebaran informasi dan edukasi tentang dampak suhu tinggi serta bagaimana cara mitigasi dan adaptasi menjadi sangat penting. Upaya kolektif dari berbagai unsur masyarakat diperlukan agar kota ini dapat bertahan di masa mendatang.
Sementara itu, Bandar Lampung dan Palembang, yang juga merupakan kota dengan jumlah hari panas yang tinggi, harus menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Pemerintah daerah diharapkan dapat menyusun kebijakan yang intensif berfokus pada pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam agar dampak negatif perubahan iklim dapat diminimalkan.
Laporan Climate Central ini memberikan gambaran jelas mengenai keadaan kritis yang dihadapi Indonesia dan Asia Tenggara secara umum. Penanganan efisien terhadap perubahan iklim perlu melibatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, penggunaan sumber energi terbarukan, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang destruktifnya perubahan iklim menjadi sangat penting di tengah situasi ini.
Kota-kota yang teridentifikasi sebagai lokasi dengan suhu ekstrem ini diharapkan dapat menjadi titik fokus dari berbagai inisiatif penanganan perubahan iklim. Dengan demikian, langkah-langkah proaktif dapat diambil untuk memastikan bahwa dampak suhu panas tidak terus memburuk dan meningkatkan risiko kesehatan masyarakat. Ini adalah tantangan modern yang membutuhkan perhatian dan aksi nyata demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.