Tel Aviv: Pemimpin Pasukan Keamanan Israel (IDF) Letnan Jenderal Herzi Halevi mengungkapkan bahwa militer Israel sedang bersiap untuk kemungkinan invasi darat ke Lebanon. Pernyataan ini disampaikan pada Rabu, 25 September 2024, setelah serangkaian serangan udara Israel yang menargetkan kelompok Hizbollah, menyusul serangan misil yang dilakukan oleh kelompok tersebut ke arah Tel Aviv.
Dalam pidatonya kepada para tentara, Halevi menyatakan, “Kamu bisa mendengar pesawat di atas, kita sudah menyerang sepanjang hari untuk mempersiapkan area di mana kemungkinan kalian akan memasuki wilayah Lebanon dan terus menghantam Hizbollah.” Ia menekankan bahwa Hizbollah akan “menerima respons kuat” dari Israel sebagai balasan atas serangan misil yang mereka luncurkan ke Tel Aviv pada hari yang sama, meskipun serangan tersebut berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara Israel.
Serangan misil ke Tel Aviv tersebut, menurut keterangan Hizbollah, ditujukan kepada gedung badan intelijen Israel, Mossad, yang mereka klaim bertanggung jawab atas insiden ledakan yang menewaskan 42 orang dan melukai 3.500 lainnya. Namun, dalam pernyataan mereka, IDF menegaskan bahwa misil tersebut sebenarnya diarahkan kepada area pemukiman sipil, bukan gedung Mossad, yang menunjukkan betapa seriusnya konflik ini bagi warga sipil.
Halevi melanjutkan, “Hari ini (25 September) kita akan melanjutkan serangan, kita tidak akan berhenti, kita akan terus menyerang mereka di mana pun. Tujuannya cukup jelas, untuk mengembalikan warga dari Utara (Israel) yang terlantar kembali dengan aman.” Pernyataan ini menunjukkan komitmen militer Israel untuk menghadapi Hizbollah dan mengamankan wilayah utara negara tersebut.
Namun, ada ketidaksesuaian antara pernyataan militer dan diplomatik Israel. Duta Israel untuk PBB, Danny Dannon, dalam pertemuan Majelis Umum PBB pada hari yang sama menyatakan, “Israel tidak menginginkan invasi darat.” Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai strategi Israel di tengah ketegangan yang meningkat.
Dengan meningkatnya kemungkinan konflik berskala penuh, diplomasi internasional berupaya mengurangi ketegangan antara kedua negara. Diplomasi tersebut melibatkan berbagai negara, termasuk Perancis dan Amerika Serikat, yang sedang merancang kesepakatan gencatan senjata. Amerika Serikat secara khusus telah menyatakan bahwa mereka tidak mendukung invasi darat Israel ke Lebanon, dengan pejabat tinggi AS mengungkapkan keinginan untuk mencegah terjadinya perang daratan.
“Kami ingin mencegah terjadinya perang daratan,” ujar seorang pejabat tinggi AS, seperti dilansir oleh Axios. Namun, situasi yang berkembang menunjukkan bahwa pengaruh AS dalam mengambil keputusan Israel semakin “terbatas” pasca-serangan baru-baru ini.
Dalam analisis Al-Jazeera, keadaan baru-baru ini menunjukkan bahwa momentum konflik cenderung berpihak kepada Israel. Sebelumnya, serangan Israel telah mengakibatkan banyak kerugian bagi Hizbollah, dengan lebih dari 1.500 anggota kelompok itu dinyatakan nonaktif akibat luka, serta sejumlah komandan yang tertangkap dalam serangan udara Israel. “Perang skala penuh terlihat lebih dekat daripada tahun lalu,” demikian disampaikan dalam laporan tersebut.
Menurut Kementerian Kesehatan Lebanon, serangan terbaru Israel ke Lebanon pada hari yang sama menyebabkan 72 orang tewas dan 223 lainnya luka-luka. Dengan total sekitar 641 korban jiwa dari pihak Lebanon akibat serangan militer Israel, konflik ini tidak hanya menambah angka kematian yang tragis tetapi juga mendesak komunitas internasional untuk bertindak.
Ketika situasi semakin mendesak, tiga negara Arab turut bersuara. Mereka mengeluarkan pernyataan yang mengecam serangan Israel ke Lebanon dan menyerukan penyelesaian yang damai. Di tengah ketegangan yang meningkat, pernyataan tegas dari negara-negara tetangga menunjukkan bahwa perang ini bukanlah sekedar konflik dua negara, tetapi juga berpotensi untuk memicu ketegangan regional yang lebih luas.
Disisi lain, laporan media menunjukkan bahwa serangan Israel tidak hanya menargetkan Hizbollah tetapi juga menimbulkan dampak besar bagi warga sipil di Lebanon. Hal ini adalah pengingat bahwa dalam setiap konflik bersenjata, dampak kepada masyarakat sipil sering kali menjadi yang paling parah, dan melukai jalinan sosial yang telah ada.
Dalam setiap langkah menuju kemungkinan invasi darat, isu kemanusiaan selalu menjadi hal penting. Kondisi di Lebanon yang sudah terdesak oleh krisis ekonomi dan politik, serta dampak pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya pulih, menambah kompleksitas situasi ini.
Integrasi dari semua bencana ini menjadikan penyelesaian diplomatik sebagai opsi yang paling diinginkan, meskipun sepertinya itu adalah jalan yang semakin sulit untuk dicapai. Ketidakpastian dan ketegangan yang mengelilingi konflik ini menunjukkan bahwa situasi di kawasan tersebut terus dipantau oleh berbagai pihak global, mengingat banyaknya implikasi yang dapat ditimbulkan.
Dengan semua perkembangan ini, dunia kini menunggu langkah selanjutnya dari Israel dan Hizbollah. Di tengah seruan gencatan senjata dan upaya diplomatik, satu hal yang jelas: ketegangan di perbatasan Israel dan Lebanon akan terus menjadi fokus perhatian global, dengan potensi ancaman akan meletusnya konflik besar yang mendalam.