Asosiasi periklanan di Indonesia saat ini tengah mengangkat suara protes terhadap Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur kemasan rokok polos tanpa merek. Upaya pemerintah tersebut merupakan langkah lanjutan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang ditujukan untuk menekan prevalensi perokok di kalangan anak-anak. Namun, para pelaku industri periklanan, terutama yang berkaitan dengan produk tembakau, merasa bahwa regulasi ini dapat berdampak negatif bagi ekosistem industri kreatif serta potensi pendapatan mereka.
Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto, mengatakan bahwa produk tembakau merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi pendapatan sektor periklanan di tanah air. Dengan penerapan aturan baru yang membatasi zonasi iklan di sekitar tempat pendidikan dan bermain anak-anak, kemungkinan besar akan berdampak berat pada kehidupan usaha periklanan. Mereka menggarisbawahi, "Jika iklan dibatasi radius 500 meter, itu tidak hanya mengurangi peluang untuk beriklan, tetapi bisa dianggap membatasi secara total."
Janoe menambahkan bahwa kemasan rokok polos tanpa merek berpotensi menimbulkan kekacauan di pasar. Kehilangan identitas merk dapat mendiskreditkan brand yang selama ini telah dibangun dengan susah payah, dan berisiko mendukung keberadaan produk ilegal yang tidak memiliki kontrol kualitas. Janoe melanjutkan, “Identitas yang terbentuk dari kemasan adalah penting, dan jika kemasan hilang, maka informasi yang seharusnya diketahui konsumen juga turut hilang.” Ini menunjukkan kekhawatiran yang mendalam tentang implikasi penuh dari kebijakan ini.
Dari sisi media luar ruang, Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya (AMLI), Fabianus Bernadi, menegaskan bahwa industri media sudah mengalami dampak signifikan sejak penerapan PP 28/2024. Menurutnya, 86 persen pengiklan yang terlibat dalam iklan produk tembakau akan langsung merasakan dampaknya. Dia mengungkapkan, "Kami dalam usaha media luar ruang merasa tertekan setelah adanya inisiatif dari Kemenkes ini. Penurunan pendapatan sekitar 50 persen adalah kenyataan yang harus kami hadapi."
Lebih lanjut, Fabianus menyayangkan bahwa pembatasan juga berlaku pada penayangan iklan di videotron, yang disamakan dengan media TV. Hal ini akan membatasi kapasitas mereka untuk menjangkau audiens secara efektif. Dengan kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), keberlangsungan industri media luar ruang harus dipertimbangkan sebelum adanya keputusan yang bersifat mengekang.
Syaifullah Agam, Direktur Manajemen Industri dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, menyatakan pentingnya melibatkan masukan publik dalam pembuatan regulasi yang mempengaruhi masyarakat. Dia mengatakan, “Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dari suatu kebijakan, mereka berhak untuk mengajukan keberatan. Hal ini penting agar kita bisa mencari solusi yang saling menguntungkan.”
Dalam pandangannya, Syaifullah juga menyoroti bahwa pengenalan kemasan polos tanpa merek dapat berisiko meningkatkan kompetisi dari produk ilegal yang lebih mudah untuk ditiru. “Sebuah brand merangkum identitas dan citra dari produk. Membangunnya memerlukan investasi yang tidak sedikit, dan meruntuhkannya dalam sekejap adalah langkah yang tidak bijaksana,” ujarnya. Dengan tujuan awal untuk mengurangi konsumsi rokok di kalangan anak-anak, Syaifullah berharap bahwa peraturan tersebut tidak menjadi beban bagi pelaku usaha yang telah beroperasi secara legal.
Ada harapan di antara para pelaku industri bahwa dialog terbuka antara pemerintah dan sektor swasta dapat memunculkan kebijakan yang lebih seimbang. Merangkum pandangan sebanyak mungkin pihak, termasuk konsultasi publik, diyakini akan memungkinkan regulasi yang mempertimbangkan baik aspek kesehatan masyarakat maupun keberlanjutan industri kreatif.
Melihat kompleksitas permasalahan ini, sangat jelas bahwa efektivitas kebijakan tidak hanya ditentukan oleh kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga oleh dampak luas yang ditimbulkannya terhadap ekosistem industri. Untuk mendapatkan keberlanjutan dalam pendekatan terhadap isu kesehatan masyarakat, sangat penting untuk mempertimbangkan mata rantai industri yang terlibat. Dialog yang konstruktif, berlandaskan data dan analisis bersama, dapat menjadi jembatan untuk menemukan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak.
Dengan demikian, tantangan untuk mengurangi prevalensi perokok anak sekaligus menjaga lanjutnya usaha kreatif dan sektor periklanan yang berkembang pesat menjadi sebuah dilema yang membutuhkan pemikiran matang. Diskusi mengenai perubahan regulasi semacam ini harus dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan semua elemen yang berkepentingan agar hasilnya bisa berkontribusi positif bagi masyarakat secara keseluruhan.